TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah studi dengan pemodelan matematika yang dipublikasi 28 November 2022 telah meramalkan lonjakan infeksi Covid-19 di Cina seperti yang saat ini sedang terjadi. Alasannya, dicabutnya pembatasan-pembatasan dalam kebijakan Zero Covid per 7 Desember lalu tak disertai kesiapan negara itu untuk hidup bersama SARS-CoV-2.
Data dasbor Johns Hopkins University menunjukkan ada hampir 736 ribu tambahan kasus baru Covid-19, dengan 890 kematian selama empat pekan belakangan per Rabu, 28 Desember 2022. Dengan angka 5 ribuan kasus harian yang dilaporkan secara resmi dua hari belakangan, Cina kini berada di urutan delapan negara dengan jumlah kasus baru terbesar di dunia.
"Cina belum mencapai tingkat vaksinasi yang tinggi, telah selama ini tidak menggunakan jenis vaksin terbaik, dan otoritasnya sangat lamban mengkomunikasikan kebutuhan apa saja untuk transisi dari fase eliminasi ke supresi dan mitigasi," kata Nick Wilson, epidemiolog dari University of Otago, Wellington, Selandia Baru.
Menurutnya, negara-negara lain sempat menerapkan strategi zero Covid, sama seperti Cina, termasuk Selandia Baru. Namun, kebanyakan menggunakannya sebatas untuk mengulur waktu penyebaran infeksi. Mereka memanfaatkan untuk bisa memacu vaksinasi, menghimpun obat antivirus dan menaikkan kapasitas perawatan intensif.
Hasil Studi Ramalkan Tsunami
Studi dirilis oleh Airfinity, sebuah perusahaan analisa bidang kesehatan yang berbasis di London, Inggris, menyatakan Cina daratan masih rentan meski pandemi Covid-19 sudah memasuki tahun ketiga. Keluaran studi juga sudah menyebutkan bahwa mencabut zero Covid saat ini dapat menyebabkan 167-279 juta kasus baru Covid-19 dan 1,3 sampai 2,1 juta tambahan kematian dalam 83 hari pertama.
Beberapa kantong jenazah dijejerkan di sekitar tempat pemuatan di sebuah gedung, di tengah wabah penyakit virus corona (COVID-19), di Chongqing, Tiongkok, dirilis pada 22 Desember 2022. Angka kematian akibat Covid-19 di Cina diduga jauh lebig besar dari yang dilaporkan oleh pemerintah. REUTERS/Sosial Media
Studi lainnya yang berbasis ke laju vaksinasi pada Maret, dan dipublikasi di Nature Medicine edisi Mei, bahkan menyebut akan terjadi 'tsunami' kasus baru Covid-19 jika zero Covid dihapus saat itu juga. Tsunami yang dimaksud adalah 112 juta kasus positif yang bergejala dalam enam bulan. Sebanyak 2,7 juta di antaranya harus dirawat intensif dan 1,6 juta akhirnya meninggal.
Sebanyak 77 persen dari korban meninggal itu adalah mereka yang belum divaksin. Hingga saat ini memang hanya 66 persen dari mereka yang berusia 80 tahun atau lebih telah menerima dosis lengkap vaksinasi Covid-19. Dan, hanya 40 persen yang telah menerima booster.
Cina daratan diminta belajar dari pengalaman Hong Kong yang pada awal tahun ini mengalami ledakan kasus Omicron. Dari hampir 6000 kematian yang terjadi (37,7 per sejuta populasinya), 96 persen di antaranya adalah mereka yang berusia 60 tahun atau lebih.
Masalah dengan Vaksinasi dan Vaksin Cina
Selain tak digunakan sebanyak yang diharapkan, vaksin-vaksin Cina--yang mengandung virus yang dilemahkan--kalah efektif daripada vaksin-vaksin mRNA yang tersedia di luar Cina. Sebuah studi di Hong Kong, di mana orang-orang dapat memiliki di antara vaksin Pfizer-BioNTech (mRNA) atau CoronaVac (vaksin yang diproduksi di Cina), menunjukkan penggunaan tiga dosis vaksin-vaksin itu sama efektifnya.
Petugas memeriksaan kualitas di fasilitas pengemasan pembuat vaksin Tiongkok Sinovac Biotech, saat mengembangkan vaksin COVID-19 di Beijing, Tiongkok, 24 September 2020. CoronaVac merupakan salah satu dari empat kandidat vaksin China terdepan untuk memerangi Covid-19. REUTERS/Thomas Peter
Baik Pfizer maupun CoronaVac mampu efektif lebih dari 90 persen mencegah infeksi serius dan kematian pada mereka yang telah berusia di atas 60 tahun. Tapi, dua dosis vaksin mRNA jauh lebih efektif daripada dua kali suntik CoronaVac. Studi lain yng terpisah menduga proteksi oleh CoronaVac meluruh lebih cepat.
Pada Mei 2021, BioNTech dan Shanghai Fosun Pharmaceutical sepakat membangun usaha patungan untuk memproduksi dan menjual vaksin BioNTech di Cina. Tapi produknya belakangan tak pernah mendapatkan izin edar, kemungkinan untuk melindungi vaksin produk dalam negerinya.
Sementara, sebanyak empat perusahaan Cina memiliki pengembangan vaksin mRNA sendiri, tapi belum ada satupun yang juga sampai ke penggunaan massal. Obat Covid-19 bikinan Pfizer, Paxlovid, malah tersedia di Cina, seperti juga terapi antibodi monoklonal produksi lokal, tapi tidak jelas berapa banyak dosis yang dimiliki di negara itu.
Otoritas di Cina masih berharap mempercepat laju vaksinasi di antara warga lansia. Tapi upaya ini dianggap Xi Chen, epidemiolog di Yale School of Public Health, butuh waktu. “Membuka kembali terlalu cepat akan bisa menekan sistem layanan kesehatan dan menyebabkan lebih banyak kematian," kata Xi.
SCIENCE, CORONAVIRUS.JHU, WORLDOMETERS