Merebut Kembali Hutan Adat
Delima mengatakan bahwa untuk mendapatkan hak atas 7.213 hektare hutan adat merupakan proses panjang. Meskipun dengan Putusan MK No. 35 sebagai dasar hukum, proses pengakuan tidaklah instan. Perlu adanya peraturan daerah (perda) yang mengikutinya, juga pengakuan dari bupati setempat terhadap komunitas adat melalui surat keputusan (SK).
Hal itu yang kemudian turut diperjuangkan oleh KSPPM bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak serta gerakan masyarakat adat dan agraria tingkat nasional. Prosesnya juga dibantu oleh pihak lain, seperti akademisi dalam menyusun naskah akademik dan jurnalis dalam peliputan. “Jadi ini merupakan hasil kerja gerakan masyarakat sipil di Indonesia,” ujar Delima.
Baginya, perjuangan ini adalah milik masyarakat adat. Lembaga-lembaga seperti KSPPM hanya memfasilitasi dengan membantu mengadakan diskusi serta mendokumentasikan sejarah, silsilah, dan peta masyarakat adat. “Jadi, kami hanya membantu mereka, semua strategi mereka yang susun,” ujarnya.
Selain itu, dia menekankan peran penting perempuan yang selalu berada di depan dalam perjuangan hak masyarakat adat Tano Batak. Bagi perempuan Batak, katanya, tanah dan hutan sangat penting. “Perempuan menganggap Bumi sebagai ibu, yang fungsinya tidak hanya produksi tapi juga reproduksi, artinya harus berkelanjutan, diwariskan ke generasi berikutnya,” tuturnya.
Dia menjelaskan bahwa pembagian peran antara perempuan dan laki-laki di masyarakat Batak terganggu karena ruang hidup yang hilang, terutama di kalangan petani kemenyan. Hutan yang menjadi tempat kerja laki-laki hilang, sehingga mereka terpaksa berpindah ke wilayah domestik milik perempuan, contohnya mengurus kebun kopi. Perempuan pun kadang harus menjadi buruh harian lepas di TPL dengan gaji yang tidak mencukupi untuk menghidupi keluarga.
Panen kemenyan di Hutan Adat Tano Batak. (FOTO/EDWARD TIGOR)
Tekanan ekonomi ini dinilainya dapat berdampak pada keharmonisan keluarga, hingga berujung pada kekerasan dalam rumah tangga. “Oleh karena itu, perempuan mendapatkan beban ganda yang berlapis-lapis.”
Sampai saat ini pun perjuangan belum usai. Areal hutan 7.213 hektare yang telah menjadi milik masyarakat adat sedang dalam proses pemulihan yang penuh tantangan. Hal ini, menurut Delima, seharusnya menjadi tanggung jawab perusahaan dan pemerintah. "Tapi masyarakat telah kehilangan kepercayaan dan tidak mau menerima uang TPL," katanya.
Untuk membongkar akar eukaliptus dari dalam tanah, misalnya, membutuhkan biaya sebesar Rp15 juta per hektare. Tanpa biaya yang cukup, masyarakat kini tengah melakukan restorasi lahan sendiri, "Sedikit demi sedikit dengan cara tradisional."
Baca halaman berikutnya: doa dari masyarakat adat jadi sumber kekuatan dan mengira jadi korban penipuan