Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Delima Silalahi, Penerima Nobel Hijau 2023: Perjuangan Belum Usai

image-gnews
Delima Silalahi pemenang Goldman Environmental Prize. Dok. Pribadi
Delima Silalahi pemenang Goldman Environmental Prize. Dok. Pribadi
Iklan
 

Merebut Kembali Hutan Adat

Delima mengatakan bahwa untuk mendapatkan hak atas 7.213 hektare hutan adat merupakan proses panjang. Meskipun dengan Putusan MK No. 35 sebagai dasar hukum, proses pengakuan tidaklah instan. Perlu adanya peraturan daerah (perda) yang mengikutinya, juga pengakuan dari bupati setempat terhadap komunitas adat melalui surat keputusan (SK). 

Hal itu yang kemudian turut diperjuangkan oleh KSPPM bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak serta gerakan masyarakat adat dan agraria tingkat nasional. Prosesnya juga dibantu oleh pihak lain, seperti akademisi dalam menyusun naskah akademik dan jurnalis dalam peliputan. “Jadi ini merupakan hasil kerja gerakan masyarakat sipil di Indonesia,” ujar Delima.

Baginya, perjuangan ini adalah milik masyarakat adat. Lembaga-lembaga seperti KSPPM hanya memfasilitasi dengan membantu mengadakan diskusi serta mendokumentasikan sejarah, silsilah, dan peta masyarakat adat. “Jadi, kami hanya membantu mereka, semua strategi mereka yang susun,” ujarnya.

Selain itu, dia menekankan peran penting perempuan yang selalu berada di depan dalam perjuangan hak masyarakat adat Tano Batak. Bagi perempuan Batak, katanya, tanah dan hutan sangat penting. “Perempuan menganggap Bumi sebagai ibu, yang fungsinya tidak hanya produksi tapi juga reproduksi, artinya harus berkelanjutan, diwariskan ke generasi berikutnya,” tuturnya.

Dia menjelaskan bahwa pembagian peran antara perempuan dan laki-laki di masyarakat Batak terganggu karena ruang hidup yang hilang, terutama di kalangan petani kemenyan. Hutan yang menjadi tempat kerja laki-laki hilang, sehingga mereka terpaksa berpindah ke wilayah domestik milik perempuan, contohnya mengurus kebun kopi. Perempuan pun kadang harus menjadi buruh harian lepas di TPL dengan gaji yang tidak mencukupi untuk menghidupi keluarga.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Panen kemenyan di Hutan Adat Tano Batak. (FOTO/EDWARD TIGOR)

 
Tekanan ekonomi ini dinilainya dapat berdampak pada keharmonisan keluarga, hingga berujung pada kekerasan dalam rumah tangga. “Oleh karena itu, perempuan mendapatkan beban ganda yang berlapis-lapis.”

Sampai saat ini pun perjuangan belum usai. Areal hutan 7.213 hektare yang telah menjadi milik masyarakat adat sedang dalam proses pemulihan yang penuh tantangan. Hal ini, menurut Delima, seharusnya menjadi tanggung jawab perusahaan dan pemerintah. "Tapi masyarakat telah kehilangan kepercayaan dan tidak mau menerima uang TPL," katanya.

Untuk membongkar akar eukaliptus dari dalam tanah, misalnya, membutuhkan biaya sebesar Rp15 juta per hektare. Tanpa biaya yang cukup, masyarakat kini tengah melakukan restorasi lahan sendiri, "Sedikit demi sedikit dengan cara tradisional."

Baca halaman berikutnya: doa dari masyarakat adat jadi sumber kekuatan dan mengira jadi korban penipuan

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Ketua Adat Sorbatua Siallagan Ditangkap Polda Sumut Atas Laporan Toba Pulp Lestari

40 hari lalu

Sejumlah massa yang tergabung dalam Aliansi Gerak Tutup TPL melakukan aksi di depan Kementerian Koordiator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Jakarta, Rabu, 24 November 2021. Aksi tersebut menyampaikan tuntutan agar Kemenko Kemaritiman dan Investasi mencabut izin konsesi PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) dari wilayah adat serta menghentikan kriminalisasi kepada masyarakat adat Tano Batak. TEMPO/Muhammad Hidayat
Ketua Adat Sorbatua Siallagan Ditangkap Polda Sumut Atas Laporan Toba Pulp Lestari

Sorbatua Siallagan gencar melawan upaya pencaplokan Toba Pulp Lestari. Ia dilaporkan karena menduduki kawasan hutan di area konsesi PT TPL.


2 Ketua Adat Ini Ditangkap Polisi karena Mempertahankan Lahan

40 hari lalu

Ilustrasi tanah adat. Shutterstock
2 Ketua Adat Ini Ditangkap Polisi karena Mempertahankan Lahan

Ketua adat Dolok Parmonangan Sorbatua Siallagan berurusan dengan polisi, karena mempertahankan tanah warisan leluhurnya


Nikson Nababan Perjuangkan Hutan Adat di Tapanuli Utara

41 hari lalu

Nikson Nababan Perjuangkan Hutan Adat di Tapanuli Utara

Bupati Tapanuli Utara (Taput), Nikson Nababan, sukses memperjuangkan hutan negara seluas 15.879 Hektare (Ha) menjadi hutan adat, di Kabupaten Tapanuli Utara.


Berjuang Mempertahankan Tanah Adat, Ketua Komunitas Adat Dolok Parmonangan Ditangkap Polda Sumut

44 hari lalu

Ilustrasi tanah adat. Shutterstock
Berjuang Mempertahankan Tanah Adat, Ketua Komunitas Adat Dolok Parmonangan Ditangkap Polda Sumut

Aliansi Masyarakat Adat Nasional menduga kriminalisasi tersebut buntut perjuangan masyarakat mempertahankan tanah adat dari penguasaan PT TPL.


Hari Hutan Internasional: Laju Deforestasi Hutan Tiap Tahun Mengkhawatirkan

46 hari lalu

Penggundulan hutan di India. [www.nature.com]
Hari Hutan Internasional: Laju Deforestasi Hutan Tiap Tahun Mengkhawatirkan

Hari Hutan Internasional diperingati setiap 21 Maret. Sejarahnya dimulai 2012 yang diprakarsai oleh PBB untuk membantu dan mendukung konservasi hutan


Apakah Itu Tanah Adat, Tanah Ulayat, Hutan Adat, dan Hutan Negara?

1 Februari 2024

Ilustrasi tanah adat. Shutterstock
Apakah Itu Tanah Adat, Tanah Ulayat, Hutan Adat, dan Hutan Negara?

Tanah adat, tanah ulayat, hutan adat, dan hutan negara adalah konsep-konsep yang mencerminkan hubungan kompleks antara manusia dan lingkungannya.


Suku Awyu Papua Gelar Aksi di Istana Negara, Tuntut Hak Hutan Adat

11 Mei 2023

Suku Awyu bersama koalisi Selamatkan Hutan Papua saat aksi damai di depan Istana Negara, Jakarta Pusat, Kamis, 11 Mei 2023. Dok: Tempo/Nabiila Azzahra
Suku Awyu Papua Gelar Aksi di Istana Negara, Tuntut Hak Hutan Adat

Masyarakat adat suku Awyu Papua menggelar aksi damai di depan Istana Negara untuk menuntut hak atas tanah.


Perjuangkan Hutan Adat, Suku Awyu Minta Komnas HAM Bentuk Tim Advokasi

10 Mei 2023

Masyarakat adat suku Awyu, Papua Selatan melakukan audiensi dengan Komnas HAM di Jakarta Pusat, Selasa, 9 Mei 2023. dok: Nabiila Azzahra/Tempo
Perjuangkan Hutan Adat, Suku Awyu Minta Komnas HAM Bentuk Tim Advokasi

Suku Awyu asal Papua melakukan audiensi dengan Komnas HAM terkait hutan adat yang terancam konsesi perusahaan sawit, Selasa, 9 Mei 2023.


Aktivis lingkungan Asal Sumut Raih Penghargaan Internasional Goldman 2023

24 April 2023

Delima Silalahi peraih penghargaan internasional Anugerah Lingkungan Goldman 2023. (ANTARA/HO-Edward Tigor)
Aktivis lingkungan Asal Sumut Raih Penghargaan Internasional Goldman 2023

Seorang aktivis lingkungan tingkat akar rumput bernama Delima Silalahi yang berasal dari Tapanuli Utara meraih penghargaan Goldman 2023.


Bupati Ajukan 3 Ribu Hektare Lahan di Rejang Lebong Jadi Kawasan Hutan Adat

17 Maret 2023

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menggelar kirab budaya sebagai acara pembuka Rakernas ke-VII di Rejang Lebong, Bengkulu, Jumat, 17 Maret 2023.  TEMPO/Rosseno Aji
Bupati Ajukan 3 Ribu Hektare Lahan di Rejang Lebong Jadi Kawasan Hutan Adat

Bupati Rejang Lebong Syamsul Effendi mengatakan tengah mengajukan 3 ribu hektare lahan di daerahnya menjadi kawasan hutan adat ke KLHK