TEMPO.CO, Jakarta - Bertepatan dengan peringatan World Lupus Day, Syamsi Dhuha Foundation di Bandung meluncurkan kembali aplikasi Lupie Diary. Menurut ketua yayasan Dian Syarief, aplikasi itu untuk mendokumentasikan riwayat medis pribadi orang dengan lupus atau odapus, serta kegiatan lain yang terkait dengan edukasi, sosialisasi, dan pendampingan.
Selain bagi odapus, aplikasi yang bisa diunduh di Google Play Store itu juga bisa dipakai oleh penyandang penyakit lainnya. Misalnya untuk menyimpan dan memantau obat-obatan yang dikonsumsi, terapi yang diterima dari dokter, atau konsultasi dengan dokter dan profesi kesehatan lain seperti apoteker. Aplikasi Lupie Diary merupakan hasil kerja sama Syamsi Dhuha Foundation dengan Universitas Surabaya.
Peringatan World Lupus Day 2023 mengangkat tema berjudul “Make Lupus Visible” agar dunia menaruh perhatian, meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang lupus di seluruh dunia sehingga lebih banyak orang dapat mengenal gejala, risiko, dan pengobatan lupus. “Serta bantu meningkatkan akses ke perawatan yang sesuai untuk orang dengan lupus atau odapus,” kata Dian, Rabu 10 Mei 2023.
Menurutnya, Kementerian Kesehatan pernah meminta agar odapus dirujuk balik dari rumah sakit tipe A ke rumah sakit tipe B atau C. Alasannya antara lain agar tidak terjadi penumpukan pasien di rumah sakit tipe A, dan odapus tidak perlu pergi jauh ke rumah sakit tipe A. Namun kenyatannya, kebijakan itu gagal menuai hasil.
Dian mengatakan, pada odapus yang tergolong berat, fasilitas layanan kesehatan di rumah sakit tipe B dan C tidak memadai. Akibatnya setelah dirujuk balik, mereka harus kembali berobat ke rumah sakit tipe A. “Laboratorium dan obat-obatan imunosupresan untuk menekan sistem imunitasnya lebih lengkap,” ujarnya.
Selain itu, odapus yang berat juga memerlukan dokter sub-spesialis untuk mengatasi serangan lupus, tidak hanya sekedar dokter spesialis. Odapus menurutnya bisa sembuh dengan diagnosis dokter yang benar dan terapi yang tepat. Lupus atau penyakit auto-imun biasanya ditangani antara lain oleh rematolog, imunolog, dan hematolog, tergantung sistem atau organ tubuh mana yang diserang.
Sebenarnya, menurut Dian, kebijakan rujukan balik itu menguntungkan pasien karena jaraknya ke rumah sakit tipe B dan C lebih dekat dari rumah. Daripada misalnya odapus di Pangandaran harus ke rumah sakit tipe A di Bandung seperti Rumah Sakit Hasan Sadikin. “Tapi ketika dirujuk balik fasilitasnya nggak ada dan harus beli obat sendiri, odapus berkorban di akomodasi dan transportasi,” katanya. Rujuk balik bisa dilakukan pada pasien yang sudah tidak menggunakan obat golongan imunosupresan.
Sementara itu menurut seorang dokter pemerhati lupus, Rachmat Gunadi Wachjudi, para odapus juga membutuhkan dukungan yang lebih besar dari keluarga, teman dan lingkungan sekitar. “Mereka ingin agar penyakit lupus tidak dianggap sebagai hal yang memalukan atau tabu,” ujarnya. Odapus ingin dapat hidup normal dan berkontribusi bagi masyarakat.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.