Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Mengenal Zaman Es Hangat 700 Ribu Tahun Lalu yang Berperan dalam Perubahaan Iklim Modern

Reporter

image-gnews
Es terapung terlihat selama ekspedisi kapal The Greenpeace's Arctic Sunrise di Samudra Arktik, Kutub Utara, 14 September 2020. [REUTERS / Natalie Thomas]
Es terapung terlihat selama ekspedisi kapal The Greenpeace's Arctic Sunrise di Samudra Arktik, Kutub Utara, 14 September 2020. [REUTERS / Natalie Thomas]
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Tim ilmuwan menemukan bahwa 700 ribu tahun yang lalu, “Zaman Es Hangat” telah mengubah pola iklim secara permanen. Saat itu suhu sangat hangat dan lembap seiring dengan gletser kutub yang berkembang pesat. Perubahan mendalam pada iklim Bumi tersebut dinilai bertanggung jawab atas perubahan siklus iklim dan menjadi langkah penting dalam evolusi iklim Bumi.

Tim peneliti itu, termasuk geolog dari Universitas Heidelberg Jerman, menggunakan data geologi terbaru dan simulasi komputer untuk mengungkap hubungan yang tampak paradoks. Temuan dituang ke dalam artikel berjudul “Moist and Warm Conditions in Eurasia During The Last Glacial of the Middle Pleistocene Transition”, dan dimuat di jurnal Nature terbit 10 Mei 2023. 

Zaman es periode glasial dicirikan oleh perkembangan lapisan es besar di belahan Bumi utara. Dalam 700 ribu tahun terakhir, fase pergeseran antara periode glasial dan hangat terjadi setiap 100 ribu tahun. Namun, iklim Bumi sebelumnya mengalami siklus 40 ribu tahun dengan periode glasial yang lebih pendek dan lemah. Perubahan siklus iklim yang signifikan itu diduga terjadi selama era Transisi Pleistosen Tengah sekitar 1,2 juta hingga 670 ribu tahun lalu.

Menurut Andre Bahr, profesor di Institute of Earth Sciences dan terlibat dalam penelitian, mekanisme yang bertanggung jawab atas perubahan kritis dalam ritme iklim global sebagian besar masih belum diketahui. Itu tidak dapat dikaitkan dengan variasi parameter orbit yang mengatur iklim Bumi. "Tetapi Zaman Es Hangat yang teridentifikasi akhir-akhir ini memang memainkan peran penting sebagai penyebab akumulasi kelebihan es benua," katanya.

Investigasi Bahr dan kawan-kawan melibatkan analisis riwayat iklim dari inti bor di lepas pantai Portugal dan catatan tanah aluvial dari dataran tinggi Cina yang kemudian dimasukkan ke simulasi komputer. Model penelitian tersebut lantas mengungkap tren pemanasan jangka panjang yang luar biasa dan peningkatan kelembapan di daerah subtropis selama 800-670 ribu tahun terakhir.

Selama zaman es terakhir di periode Transisi Pleistosen Tengah ini, suhu permukaan laut di Atlantik Utara dan Pasifik Utara tropis lebih hangat daripada interglasial sebelumnya—fase yang menjembatani kesenjangan antara dua zaman es. Perbedaan suhu tersebut menyebabkan produksi kelembapan dan curah hujan yang lebih tinggi di Eropa Barat Daya, memfasilitasi perluasan hutan Mediterania, dan mengintensifkan monsun musim panas di Asia Timur.

Penemuan Zaman Es Hangat itu menjadi lebih luar biasa lagi ketika diketahui bahwa kelembapan tak hanya terbatas pada daerah subtropis, tetapi juga mencapai daerah kutub, berkontribusi pada perluasan lapisan es Eurasia Utara. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, lapisan es di belahan Bumi utara itu merupakan ciri khas periode glasial atau zaman es geologis.

Peneliti menyoroti pengaruh signifikan periode Transisi Pleistosen Tengah dalam membentuk siklus iklim Bumi seperti yang dikenal dewasa ini. Pergeseran ke siklus 100 ribu tahun antara periode glasial–hangat yang berbeda, yang telah berlangsung selama 700 ribu tahun terakhir, menandai titik balik penting dalam sejarah iklim Bumi. Pemahaman yang baru ditemukan tentang hubungan rumit antara “Zaman Es Hangat”, peningkatan kelembapan, dan perluasan gletser kutub membuka jalan baru untuk menjelajahi dinamika kompleks sistem iklim Bumi.

Bahr menambahkan, variabel-variabel tersebut bertahan selama beberapa waktu dalam fase glasiasi zaman es yang berkelanjutan dan berjangkauan jauh yang berlangsung hingga Pleistosen akhir. Ekspansi gletser benua seperti itu diperlukan untuk memicu pergeseran dari siklus 40 ribu tahun ke siklus 100 ribu tahun yang kita alami hari ini, yang sangat penting untuk evolusi iklim Bumi selanjutnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Studi ini menyoroti peran penting yang dapat dimainkan oleh peristiwa iklim masa lalu dalam membentuk skenario iklim saat ini dan masa depan. Dengan mengungkap mekanisme di balik perubahan sejarah, para ilmuwan lebih siap untuk memahami konsekuensi potensial dari perubahan iklim yang sedang berlangsung. Dengan pengetahuan ini, manusia dapat berusaha mengembangkan strategi yang efektif untuk mengurangi dampak buruk perubahan iklim dan melindungi masa depan planet Bumi.

NIA HEPPY | SYAHDI MUHARRAM (THE WEEK, SCIENCE DAILY)

Pilihan Editor: Ilmuwan Temukan Jejak Kaki Manusia Modern Tertua, Berikut Faktanya

 


Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Angka Kematian Demam Berdarah di Bangladesh Tembus 1.000 Jiwa, Terburuk dalam Sejarah

1 hari lalu

Pasien terinfeksi demam berdarah berada di bawah kelambu saat mereka menerima perawatan di Shaheed Suhrawardy Medical College and Hospital di Dhaka, Bangladesh, 26 Juli 2023. REUTERS/Mohammad Ponir Hossain
Angka Kematian Demam Berdarah di Bangladesh Tembus 1.000 Jiwa, Terburuk dalam Sejarah

Data resmi pemerintah Bangladesh pada Minggu malam menunjukkan lebih dari 1.000 orang di negara telah meninggal karena demam berdarah sejak awal tahun


Gubernur New York: Banjir adalah Normal Baru akibat Perubahan Iklim

2 hari lalu

Personil penyelamat Unit Operasi Khusus dengan Layanan Darurat Westchester County mendayung dengan rakit saat mereka memeriksa bangunan untuk mencari korban yang terperangkap dalam banjir besar di Mamaroneck pinggiran Kota New York, New York, AS, 29 September 2023. REUTERS/Mike Segar
Gubernur New York: Banjir adalah Normal Baru akibat Perubahan Iklim

Gubernur New York Kathy Hochul menyebut banjir bandang akibat hujan deras di Kota New York adalah normal baru akibat perubahan iklim


Ashoka Luncurkan Gaharu Bumi Innovation Challenge, Gerakan Mitigasi Krisis Iklim

4 hari lalu

Sejumlah aktivis dari organisasi masyarakat sipil membentangkan poster dan spanduk saat menggelar aksi terkait KTT G20 India di depan Kedutaan Besar India, Gama Tower, Jakarta, Jumat, 8 September 2023. Aksi tersebut untuk merespon Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di India yang menurutnya 20 negara dengan perekonomian terbesar di dunia ini gagal memenuhi komitmen mereka; dan sebaliknya, terus membelanjakan uang negara mendukung kebijakan-kebijakan yang lemah dalam upaya-upaya untuk menutup kesenjangan dalam keringanan utang, perpajakan, dan mitigasi perubahan iklim serta transisi energi yang hanya memperburuk dampak dari berbagai krisis dan tidak melihat penderitaan kelompok yang terpinggirkan. TEMPO/M Taufan Rengganis
Ashoka Luncurkan Gaharu Bumi Innovation Challenge, Gerakan Mitigasi Krisis Iklim

Jejaring kewirausahaan sosial global Ashoka meluncurkan gerakan inovatif 'Gaharu BUMI innovation Challenge' di Jakarta, Jumat, 29 September 2023.


UIII Punya Program Studi Perubahan Iklim untuk Magister, Dosennya Tak Hanya dari Indonesia

6 hari lalu

Petugas dari Manggala Agni Daos Ogan Komering Ilir (OKI) dan Daops Lahat melakukan pemadaman kebakaran lahan gambut di Desa Deling, Pangkalan Lampan, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, Sabtu 26 Agustus 2023. Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan Wilayah Sumatera menerjunkan 45 orang personel Manggala Agni dari Daops OKI dan Lahat, untuk melakukan pemadaman kebakran lahan gambut di wilayah tersebut yang sudah terbakar sejak 17 hari yang lalu. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
UIII Punya Program Studi Perubahan Iklim untuk Magister, Dosennya Tak Hanya dari Indonesia

UIII membuka program studi Perubahan Iklim ini untuk dapat berkontribusi kepada negara dalam menjaga dan memelihara ekologi.


Sri Mulyani Hadiri Pertemuan AIIB di Mesir, Bahas Perubahan Iklim dan Investasi Transisi Energi

6 hari lalu

Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers Devisa Hasil Ekspor di Kemenko Perekonomian, Jumat, 28 Juli 2023. TEMPO/Riri Rahayu
Sri Mulyani Hadiri Pertemuan AIIB di Mesir, Bahas Perubahan Iklim dan Investasi Transisi Energi

Sri Mulyani mengatakan AIIB memiliki peran penting sebagai katalisator dalam mendesain berbagai instrumen pembiayaan.


Indonesia jadi Tuan Rumah Bersama Konferensi Minyak Nabati Kedua di Mumbai India

6 hari lalu

Lahan perkebunan Sawit  di Gane Timur, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Selasa 23 Januari 2023. (FOTO/Budhy Nurgianto)
Indonesia jadi Tuan Rumah Bersama Konferensi Minyak Nabati Kedua di Mumbai India

Untuk meningkatkan ketahanan di masa depan dalam menyediakan minyak nabati secara berkelanjutan, diperlukan sejumlah langkah strategis bersama.


Luhut ke Negara Barat: Tak Perlu Ajari Kami Soal Perubahan Iklim

8 hari lalu

Presiden Jokowi (tengah) bersama Menteri BUMN Erick Thohir (kedua kanan) dan Menko Kemaririman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (kedua kiri) meninjau Stasiun Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) di Padalarang Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Rabu, 13 September 2023. Presiden Joko Widodo mencoba kereta cepat dari Stasiun Halim menuju Stasiun Padalarang dan dilanjutkan dengan menggunakan kereta pengumpan dari Stasiun Padalarang menuju Stasiun Bandung. ANTARA/Raisan Al Farisi
Luhut ke Negara Barat: Tak Perlu Ajari Kami Soal Perubahan Iklim

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Padjaitan mengatakan Indonesiua tidak perlu diajari soal perubahan iklim.


Prospera Sebut Pentingnya Kompensasi untuk Kelompok Rentan yang Terdampak Perubahan Iklim

8 hari lalu

Presiden Joko Widodo menghadiri rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 India, Sabtu, (9/9) di New Delhi, India. Dalam forum tersebut, Jokowi meminta seluruh pihak untuk bersama-sama mengurangi emisi.
Prospera Sebut Pentingnya Kompensasi untuk Kelompok Rentan yang Terdampak Perubahan Iklim

Program Kemitraan Indonesia-Australia untuk Perekonomian (Prospera) sebut pentingnya kompensasi untuk kelompok rentan yang terdampak perubahan iklim.


Menlu Retno Ajak Anggota PBB Bangkitkan Kepercayaan, Solidaritas Global

9 hari lalu

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan pernyataan Indonesia dalam Sidang ke-78 Majelis Umum PBB di New York, AS, pada Sabtu, 23 September 2023. ANTARA/HO-Kemlu RI
Menlu Retno Ajak Anggota PBB Bangkitkan Kepercayaan, Solidaritas Global

Menlu Retno menyampaikan bahwa setiap negara memiliki hak yang sama untuk membangun dan tumbuh.


Utusan Iklim Cina: Penghapusan Bahan Bakar Fosil Tidak Realistis

11 hari lalu

Para pria berdiri di dekat mobil dekat pembangkit listrik tenaga batu bara di Shanghai, Cina,  21 Oktober 2021. REUTERS/Aly Song
Utusan Iklim Cina: Penghapusan Bahan Bakar Fosil Tidak Realistis

Penghentian penggunaan bahan bakar fosil secara menyeluruh tidaklah realistis, kata pejabat tinggi iklim Cina.