TEMPO.CO, Jakarta - Terbitnya izin ekspor pasir laut ke luar negeri lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut tengah menjadi kontroversi. Merespons hal ini, IPB University menggelar diskusi bertajuk “Polemik Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut (PP No 26 Tahun 2023)” pada Jumat, 9 Juni lalu.
Hadir sebagai narasumber Direktur Jasa Kelautan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Miftahul Huda, Kepala Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan (PKSPL IPB University) Yonvitner, dan Manajer Kampanye Pesisir dan Laut di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Eksekutif Nasional Parid Ridwanuddin.
Parid menyatakan PP Nomor 26 Tahun 2023 tidak memiliki urgensi sama sekali untuk terbit, apalagi membuka keran ekspor pasir laut. Menurut dia, jika PP tersebut dibuat untuk mengatasi persoalan sedimentasi, harusnya penanganan bersifat dari hulu-hilir karena penyebab sedimentasi berada di hulu.
“Penumpukan sedimentasi di laut yang terjadi disebabkan oleh kegiatan yang dilakukan di daratan. PP ini hanya berfokus pada fenomena penumpukan sedimentasi di hilir, sedangkan kegiatan di darat yang menyebabkan sedimentasi tidak diperhatikan,” ujarnya.
Dia juga menyatakan kekhawatirannya terhadap legalitas penambangan pasir dari kebijakan ini. Jika penambangan pasir benar-benar dilakukan maka ke depannya akan menyebabkan kerusakan lingkungan yang merugikan masyarakat luas.
Baca Juga:
“Salah satu kekhawatiran terbesar dari adanya penambangan pasir adalah nasib pulau-pulau kecil di Indonesia yang terancam tenggelam,” katanya dikutip dari situs IPB University.
Sementara itu, Miftahul Huda menyebut latar belakang lahirnya PP Nomor 26 Tahun 2023 karena fenomena rusaknya terumbu karang. Hasil sedimentasi laut seperti pasir dan lumpur menyebabkan tertutupnya terumbu karang yang berujung pada kerusakan.
Hal ini akan menyebabkan turunnya daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir serta kesehatan laut. PP tersebut, klaim dia, dibuat sebagai peraturan untuk mengantisipasi kerusakan terumbu karang yang lebih serta upaya meningkatkan daya dukung dan kesehatan laut Indonesia.
“Hasil penambangan sedimentasi laut juga tidak hanya untuk kebutuhan ekspor dan reklamasi dalam negeri, tetapi juga untuk pembangunan infrastruktur pemerintah dan pembangunan prasarana oleh pelaku usaha seperti yang telah tertera pada PP Nomor 26 Tahun 2023 Pasal 9 ayat (2),” ujar Huda.
Dia menambahkan bahwa pasir dan lumpur sebagai hasil sedimentasi laut perlu dikelola agar lebih bermanfaat. Hal itu dibantah oleh Yonvitner. Dia menilai kelahiran PP ini masih sangat prematur, sehingga diperlukan kajian-kajian mendalam sebelum diimplementasikan di lapangan.
“Soal argumentasi yang disampaikan terkait penanganan sedimentasi laut akan menyehatkan ekosistem justru jika ditinjau dari konsep pengelolaan ekosistem, peran ekosistemlah yang kemudian membuat sedimentasi seperti perakaran mangrove dan lamun,” terangnya.
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa penggunaan kapal isap sebagai sarana pembersihan hasil sedimentasi laut juga kontradiktif. Dia mewanti-wanti potensi risiko ekonomi, ekologi, biofisik, sosial, sarana-prasarana, dan kebijakan jika PP ini diterapkan.
“Jangan sampai ingin dapat satu rupiah dari hasil sedimentasi laut, tapi kita sesungguhnya keluar lima rupiah untuk biaya pemulihan ekosistem dan lingkungan, sebagaimana kajian PKSPL IPB University 2003 terkait penambangan pasir laut,” tambahnya.
Yonvitner merekomendasi sebaiknya implementasi PP 26/2023 ditunda. "Kedudukan PP dalam kebijakan nasional harus diluruskan, dan kajian teknis untuk naskah akademis dan uji kelayakan publik harus dilakukan,” imbuhnya.
Pilihan Editor: 6 Perguruan Tinggi Swasta di Jabar dan Banten Ditutup, Mana Saja?