TEMPO.CO, Jakarta - Artikel pertama dalam Top 3 Tekno Berita Terkini pada Jumat, 7 Juni 2024, membahas risiko perampasan lahan masyarakat adat pasca mundurnya Kepala Badan Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) Bambang Susantono, dan Wakilnya, Dhony Rahajoe. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Timur khawatir perampasan tanah berlanjut, salah satunya di Kelurahan Pemaluan, Kabupaten Penajam Paser Utara.
Dalam artikel kedua, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menganggap isu kualitas udara di IKN yang diangkat oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi hanya taktik pemasaran. Orang nomor satu di Indonesia itu menyatakan udara di IKN dua kali lipat lebih baik daripada Melbourne dan Paris.
Berita ketiga menyangkut peningkatan produksi dan penumpukan sampah di DI Yogyakarta. Kondisi darurat sampah itu dipicu berbagai persoalan, salah satunya penerapan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah yang mandek.
1. Kepala Otorita IKN Mundur, AMAN Kaltim Pertanyakan Tanggung Jawabnya di Pemaluan
Ketua AMAN Kalimantan Timur, Saiduani Nyuk, khawatir mundurnya duo pemimpin Otorita IKN bakal melanggengkan upaya perampasan lahan masyarakat adat di kawasan inti maupun pendukung IKN. Ketika keduanya masih menjabat pun, praktik perampasan lahan sudah terjadi di Kelurahan Pemaluan.
"Mereka itu tidak dibayar, masyarakat yang memiliki tanah di sekitar Kampung Sabut Pemaluan juga sampai sekarang tidak memiliki kejelasan terhadap hak mereka," kata Saiduani dalam konferensi pers daring, Kamis 6 Juni 2024.
Pada era Bambang dan Dhony, kata dia, terdapat kebijakan bank tanah yang berpotensi menjadi perampasan lahan secara terselubung. Semua itu terjadi meski Bambang-Dhony sudah berjanji tidak akan melakukan penggusuran paksa terhadap masyarakat di IKN.
2. Jokowi Bandingkan Kualitas Udara IKN dan Paris, Walhi Sebut Taktik Pemasaran
Manajer Kampanye Polusi dan Perkotaan Walhi, Abdul Ghofar, menilai pernyataan Presiden Jokowi tentang kualitas udara IKN yang dua kali lipat lebih baik daripada Melbourne dan Paris tidak berdasar dan bermasalah. Perbandingan itu tidak relevan lantaran tak mempertimbangkan faktor populasi penduduk, luas wilayah, skala perkotaan, jumlah kendaraan, jumlah industri, dan infrastruktur lain yang menjadi faktor penentu kualitas udara di suatu wilayah.
"Lebih terlihat sebagai taktik pemasaran yang disertai dengan pengaburan informasi demi menarik investasi," kata Ghofar kepada Tempo, Kamis, 6 Juni 2024.
3. Yogyakarta Darurat Sampah, Pakar UGM: Akibat Pengabaian UU Pengelolaan Sampah
Pengamat politik lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM), Nur Azizah, menilai tak berjalannya amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah menjadi salah satu akar masalah penumpukan sampah. Padahal, UU itu mendefinisikan Pembuangan Akhir (TPA) bukan hanya sebagai tempat pembuangan, melainkan juga tempat pemrosesan akhir.
Menurut dia, pemangku kepentingan di sejumlah daerah, termasuk Yogyakarta masih menganggap TPA sebagai penampungan. Walhasil, beragam jenis sampah masuk, menumpuk, dan melampaui daya tampung (overload).
Pilihan Editor: Ini Alasan Meta Uji Iklan Tanpa Skip pada Instagram, Sebagian Netizen Geram