TEMPO.CO, Depok - Universitas Indonesia (UI), melalui Fakultas Kedokterannya, bersama University of Oxford, Inggris, telah menyelesaikan uji klinis fase 2 untuk calon vaksin malaria baru yang diproduksi Sanaria Inc., perusahaan bioteknologi berbasis di Maryland, AS. Calon vaksin yang sedang diuji ini memang bukan yang pertama di dunia, tapi merupakan uji vaksin malaria pertama yang pernah dilakukan di Indonesia dan pertama di Asia-Pasifik dalam 30 tahun terakhir.
Pada pelaksanaannya, uji klinis yang diumumkan secara resmi pada 27 Mei 2024 ini juga bekerja sama dengan Pusat Kesehatan Angkatan Darat (PUSKESAD) dan Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Uji melibatkan 345 personel TNI dari Batalion 132 di Bangkinang, Riau, yang berpartisipasi dalam studi secara sukarela.
Mereka dibagi ke dalam dua kelompok, yakni yang memperoleh vaksinasi dan yang mendapatkan suntikan plasebo sebagai alat kontrol. Plasebo yang digunakan berupa larutan garam fisiologis.
Kemudian, para personel TNI tersebut berangkat tugas ke Kabupaten Keerom, Papua, wilayah endemik malaria. Tujuannya adalah melihat bagaimana vaksinasi bekerja bagi orang-orang yang belum pernah terinfeksi malaria saat mereka berada di wilayah risiko tinggi malaria.
“Dengan memvaksin para tentara yang belum pernah terinfeksi sebelum mereka bepergian ke daerah berisiko tinggi, kami bisa menguji efektivitas vaksin ini dalam kondisi nyata,” ujar Erni Juwita Nelwan, Guru Besar FKUI sekaligus peneliti utama dalam riset ini, seperti dikutip dari website UI, 1 Agustus 2024. Suntikan calon vaksin maupun plasebo dilakukan sepanjang Mei hingga September 2022 sebelum pengiriman personel ke Keerom.
Tim peneliti kemudian memantau dan menangani kasus-kasus malaria selama masa penugasan di Papua tersebut. Pengawasan berlanjut selama enam bulan setelah mereka kembali ke Bangkinang dan masih menangani beberapa kasus malaria selama periode ini.
Ada dua calon vaksin dalam uji klinis. Keduanya terbuat dari parasit malaria hidup, khususnya jenis Afrika Barat, yang dilemahkan dengan cara berbeda. Yang pertama, parasit dilemahkan menggunakan radiasi, sedangkan calon vaksin kedua berisi parasit yang di dilemahkan dengan obat chloroquine yang diberikan secara oral kepada partisipan studi.
Hasil uji menunjukkan bahwa calon vaksin malaria yang pertama aman dan dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh, sama seperti plasebo. Calon vaksin yang kedua juga disebutkan terbukti aman dengan efek samping ringan. "Kedua vaksin memberikan perlindungan terhadap malaria yang disebabkan parasit Plasmodium falciparum yang ditemukan di Papua, meskipun vaksinnya terbuat dari jenis malaria yang berbeda," bunyi keterangan Erni.
Dekan FKUI Ari Fahrial Syam, berharap uji klinis bisa berlanjut sehingga keberadaan vaksin nantinya benar-benar bermanfaat dalam upaya memberantas malaria di Indonesia dan dunia. "FKUI terus mendukung berbagai uji klinik The Oxford University Clinical Research Unit (OUCRU) melanjutkan kerja sama yang telah berlangsung sejak 13 tahun yang lalu,” kata Ari.
Direktur OUCRU Indonesia, J. Kevin Baird, menerangkan mengutamakan menjalin kerja sama dengan mitra lokal untuk menemukan solusi efektif bagi penyakit menular yang dapat diterapkan di seluruh dunia. "Keberhasilan uji coba ini membuktikan kekuatan kemitraan tersebut dan merupakan langkah penting menuju eliminasi malaria,” ujar Baird.
Adapun Kepala Medis Sanaria, Thomas L. Richie, menyoroti lintas jenis calon vaksin yang diuji klinis yang, menurut dia, sangat penting untuk eliminasi malaria global. "Karena ada banyak spesies malaria di dunia," kata dia menjelaskan.
Hasil yang lebih rinci dan luas dari penelitian yang didanai oleh Congressionally Directed Medical Research Program, Amerika Serikat, ini akan dipublikasikan pada akhir tahun setelah melalui peer-review atau ulasan oleh para ahli lain.
Pilihan Editor: BMKG Terbang Siang-Malam Semai 157 Ton Garam di IKN Selama Sebulan, Hasilnya?