TEMPO.CO, Jakarta - Persaingan di dunia wisata semakin keras. Kemajuan teknologi informasi yang sangat pesat membuat pemain lama di industri pariwisata semakin ketinggalan. Namun tak semua menyadarinya. Masih banyak pengelola wisata yang tidak ‘jemput bola’ dengan aktif, kebanyakan menunggu pengunjung secara konvensional.
Revolusi digital juga berpengaruh pada industri pariwisata. Dilansir dari buku Wonderful Indonesia: Revolusi Tour & Travel Digital, karya Minghadi Suryajaya, para pemain lama di bidang pemesanan tiket pesawat, hotel, penginapan, hingga operator terdesak dengan munculnya pemain-pemain baru yang menyalip para pemain lama yang tidak mengikuti perubahan dengan cepat.
Para pengunjung saat ini melakukan riset dan pencarian tentang destinasi wisata jauh-jauh hari sebelum keberangkatan. Mereka haus akan informasi tentang agenda wisata, harga tiket masuk, biaya akomodasi, hingga makanan lokal. Sumber informasi wisata yang dulu hanya terpaku pada sumber resmi dari pemerintah kini mulai berubah. Saat ini, ulasan dari travel blogger dan para backpacker menjadi salah satu acuan wisatawan.
Tren pasar dan perliaku wisatawan itu belum sepenuhnya dioptimalkan oleh pengelola wisata di Indonesia. Hal itu terlihat dari pendataan Atourin Visitor Management System (AVMS), sebuah platform digital pariwisata. Platform itu merupakan salah satu produk Atourin, perusahaan teknologi yang bergerak di bidang pariwisata. Dari 6.016 desa wisata di Indonesia, baru sebagian kecil yang menggunakan platform tersebut.
“Sebenarnya ada 717 desa wisata di Indonesia yang sudah mendaftar aku Atourin, tapi yang sudah jalan baru 197 desa wisata,” kata Reza Permadi, pendidi Atourin kepada Tempoco, Selasa, 6 Agustus 2024. “Angka itu tentu masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah desa wisata di Indonesia,” Reza menambahkan.
Sebagai negara yang punya banyak destinasi wisata, termasuk desa wisata, sektor pariwisata di Indonesia kebanyakan masih berjalan konvensional. Padahal, para konsumennya atau wisatawan sudah semakin banyak yang go digital.
Seperti dietahui, data BPS pada 2021 menunjukkan tren 70 persen wisatawan di Indonesia sudah go digital, namun baru 20 persen pengelola wisata yang go digital. “Hal itu tentu sangan timpang, karena itu, melalui platform ini, kami berusaha mendorong semua destinasi wisata di Indonesia go digital, targetnya pada 2030,” kata Reza.
Untuk mencapai tujuan itu, Reza bergabung dalam kolaborasi dengan pemerintah. Ia selalu dilibatkan dalam berbagai kegiatan Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif (Kemenparekraf). Contohnya dalam program Anugerah Desa Wisata Indonesia dan Program Kampanye Sadar Wisata lalu program beli kreatif desa wisata. “Di seluruh program itu, kami mengakuisisi mitra. Makanya bisa cukup massif,” kata Reza.
“Kami juga mendukung program pemerintah karena di tahun ini mendorong 1,4 miliar pergerakan wisatawan di tahun 2024 ini,” Reza menambahkan.
Atourin juga digandeng sejumlah pemerintah daerah untuk mendigitalkan desa wisata mereka. Yang terbaru misalnya, Atourin membantu Pemerintah Belitung Timur mendigitalkan 10 desa wisata, kemudian Provinsi Kalimantan Tengah, mendigitalkan 20 desa, di Kabupaten Samosir, 10 desa. “Itu semua menggunakan platform kami,” katanya.
Selain dengan pemerintah, Atourin juga berkolaborasi dengan sektor swasta. Salah satunya dengan Astra. Seperti diketahui, Astra dikenal sebagai perusahaan yang kerap menjalankan program pemberdayaan di berbagai desa. Melalui program Desa Sejahtera Astradan Kampung Berseri Astra, perusahaan itu membantu mengembangkan berbagai potensi di suatu desa, baik itu produk lokal, UMKM, hingga sektor pariwisatanya. “Kami sedang memulai upaya supaya kampung-kampung binaan ASTRA ini masuk ke platform kami,” kata Reza.
Selain menjalin kolaborasi dengan berbagai pihak, Reza juga berupaya mengatasi kendala berupa akses internet di desa wisata yang terletak di pelosok. Caranya, berkolaborasi dengan Bakti Kominfo supaya bisa menyediakan akses internet di desa-desa wisata terutama di pelosok. “Karena memang untuk menuju pariwisata go digital, hatus ditunjang juga dengan akses internet yang menjangkau pelosok,” kata Reza.
Akses internet di pelosok juga tidak menjadi kendala yang sangat besar. Reza menuturkan, justru melalui platform AVMS ini, pengunjung bisa melakukan pemesanan dan reservasi secara jauh-jauh hari. “Pengunjung tinggal pesan melalui aplikasi ini, jadi sampai lokasi yang tidak ada internet, hanya cukup memperlihatkan QR code yang sudah dibeli sebelumnya, nanti masyarakat di desa tinggal mencatat saja secara manual,” ujar Reza.
Kendala lain dalam proses digitalisasi sektor wisata di Indonesia adalah minat dari para pengelola. Menurut Reza, mereka khawatir platform digital bisa mengurangi keuntungan. Padahal, kata Reza, platform Atourin ini tidak akan merusak harga pasar. Bahkan, ujar dia, pengelola akan mendapat komisi jika bergabung dalam Atourin. “Kita terapkan harga publish kepada pengunjung, pengelola tetap mendapat untung karena kita terapkan harga publish kepada pengunjung. Kita tidak akan terapkan harga agen kepada mereka,” kata dia.
Adapun untuk memancing minat wisatawan dan menjangkau pasar yang lebih luas, Atourin memberikan informasi lengkap mengenai berbagai hal menarik di desa wisata termasuk potongan harga. “Contohnya di bulan Agustus ini, kita punya program dengan kemenparekraf mengadakan insentif berupa voucher kepada wisatawan, Namanya Ayo ke Desa, jadi setiap transaksi Atourin ke desa wisata menggunakan voucher itu, nanti dapat insentif potongan harga mulai Rp 100 ribu, Rp 50 ribu dan Rp 10 ribu,” kata Reza.
Selanjutnya: Meningkatkan Pendapatan Desa Wisata