TEMPO.CO, Jakarta - Populasi buaya liar di Australia merosot. Kematian terus bertambah karena hewan buas tersebut memakan kodok beracun di habitatnya. Para ilmuwan setempat lalu berinisiatif mengajari buaya-buaya itu agar menahan diri dan tak tergoda menyantap mangsa mematikan itu.
Hasil dari penelitian memberikan 'pelatihan' kepada buaya-buaya itu dipublikasi dalam Proceedings of The Royal Society B: Biological Sciences, terbit 14 Agustus 2024.
Seperti diketahui, kodok Rhinella marina diintroduksi ke Australia pada 1930-an untuk mengendalikan hama kumbang di lahan tebu. Karena tak memiliki predator alami, jenis kodok besar, invasif, dan beracun ini malah berkembang menjadi ancaman bagi lingkungan.
Kodok tebu kini menekan banyak habitat liar khas Australia. Gara-garanya, predator lain tak menyadari ancaman dari kelenjar beracun kodok itu yang mensekresikan senyawa kimia yang disebut bufotoxin. Memakan kodok itu hampir selalu mematikan.
"Dan hampir selalu pula predator yang bertemu dengannya berakhir dengan memangsanya karena tak belajar untuk tidak memakannya," kata Georgia Ward-Fear, peneliti ekologi reptil juga conservation scientist dari Macquarie University, Australia.
Kondisi itu yang sedang dihadapi buaya air tawar Australia (Crocodylus johnstoni). Populasi satwa ini di beberapa wilayah Australia sebelah utara ambruk lebih dari 70 persen seiring dengan gelombang pertama ledakan populasi kodok tebu di wilayah itu.
Ward-Fear dan koleganya pernah mengajari beberapa spesies predator yang terdampak, termasuk biawak dan quoll, agar tidak makan kodok tebu. Mereka melakukannya dengan cara memutilasi kelenjar beracun milik si kodok dan ganti menanam dosis yang tak beracun ke dalamnya, yang sebatas menyebabkan mual. Harapannya, si predator bisa mengenali dan jera memakan kodok jenis itu di masa mendatang.
Yang dilakukan oleh Ward-Fear dan timnya itu adalah mencoba teknik yang sama kepada buaya air tawar. Tim memantau populasi buaya-buaya jenis itu di empat target area di Lembah Fitzroy di Asutralia Barat sebelah barat laut pada periode Juli-November 2021 lalu. Invasi kodok tebu mulai mendekat ke wilayah itu September 2021.
'Pelatihan' dilakukan dengan memasang hampir 2.400 umpan kodok yang telah direkayasa tersebut. Kelenjar beracunnya telah dibersihkan dan digantikan litium klorida yang dikenal menyebabkan rasa mual tak fatal. Tim peneliti juga menyiapkan umpan lain berupa leher ayam sebagai kontrol.
Kodok tebu (Rhinella marina) mengeluarkan bufotoksin. Foto: Department of Biodiversity, Conservation and Attractions
Awalnya, hampir semua kodok yang digantungkan pada ujung kail di tepian sungai dimakan oleh buaya. Begitu juga dengan leher ayam. Tapi, dalam lima hari, seiring gejala keracunan menyebar lewat empat habitat buaya lokal, hewan predator itu mulai belajar dan berhenti memakan kodok, tapi tetap lanjut menyikat leher ayam.
Buaya-buaya itu juga kelihatan belajar dengan menghindari kodok tebu yang masih hidup yang belakangan masuk wilayah mereka. Di wilayah di mana kodok-kodok itu sudah menyebar sebelum ada 'pelatihan', tingkat kematian buaya melonjak sampai 95 persen.
Berbeda dari wilayah di mana kodok baru datang setelah ada 'pelatihan': belum ada catatan kematian yang dilaorkan akibat keracunan makan kodok.
TWard-Fear dkk mengulangi program pelatihan pakai umpan di kail pada 2022 dan menemukan buaya-buaya masih menolak memakannya. "Ini mengejutkan sebenarnya bagaimana dampak dari pelatihan ini," kata Ward-Fear.
NEW SCIENTIST, ROYAL SOCIETY PUBLISHING
Pilihan Editor: Dekan FK Unpad Beberkan Praktik Bullying di Program Dokter Spesialis, Pakta Integritas Diabaikan