TEMPO.CO, Bandung - Informasi mengenai potensi gempa besar dari zona subduksi antar-lempeng benua, atau dikenal sebagai gempa megathrust, di segmen Mentawai-Siberut dan Selat Sunda merupakan pesan agar semua siaga dan menguatkan upaya mitigasi. Informasi itu walaupun waktu gempanya masih belum bisa diprediksi.
“Karena usaha untuk meminimalkan korban harus ditingkatkan,” ujar peneliti geologi dan kebencanaan di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Danny Hilman Natawidjaja, saat dihubungi Rabu, 21 Agustus 2024.
Danny menerangkan, upaya mitigasi itu misalnya melatih warga untuk evakuasi, meninjau ulang atau meningkatkan infrastruktur, dan tanggap darurat. Dia khawatirkan usaha kesiapan itu mengendur dan masyarakat lupa terhadap potensi bencana gempa megathrust di daerahnya. Segmen megathrust Mentawai-Siberut, misalnya, potensi gempanya telah dikuatkan oleh data-data ilmiah. “Kemungkinan terjadinya megathrust memang cukup besar,” kata dia.
Danny menyebutkan, gempa Magnitudo 8,5 pernah terjadi pada segmen Mentawai-Siberut pada 1797 dan waktu perulangannya diperhitungkan sudah terlewati tanpa pelepasan energi yang setara. Adapun gempa yang terjadi pada 2007 dan 2010, kata Danny, terjadi di pinggiran segmen. “Energi yang besarnya belum lepas,” ujarnya.
Menurut Danny, kejadian antar-gempa atau lindu bisa berlangsung cepat seperti Gempa Nias 2005 yang terjadi setelah Gempa dan Tsunami Aceh 2004. Tapi, bisa juga lama seperti pada gempa sekitar Mentawai.
“Seperti gempa 1797 itu yang dilepaskan di Mentawai-Siberut kemudian 1830 gempa di selatannya,” kata dia. Kedua gempa itu berada di wilayah megathrust yang sama namun berbeda segmen atau bagian.
Walau begitu, ilmuwan dan peneliti gempa tidak bisa menyebutkan kapan akan terjadi gempa besar selanjutnya. “Pola kegempaan (seismisitas) itu susah untuk dijadikan dasar untuk membuat prediksi,” ujarnya menambahkan.
Membandingkan Indonesia dengan Jepang
Danny membandingkan dengan Jepang yang berani mengeluarkan peringatan dini soal potensi gempa megathrust setelah gempa magnitudo 7,1 pada 8 Agustus lalu. Menurutnya, kondisi Jepang dan Indonesia berbeda. Penelitian ke arah megathrust di Jepang dinilainya sudah banyak sehingga prediksi bisa berdasarkan statistik dan saintifik.
Selain itu, masyarakat di Jepang dinilainya sudah lebih siap karena sudah terbiasa dengan mitigasi dan menjadikan persiapannya jadi lebih serius lagi. “Ada peringatan dini gempa, mereka responnya positif,” kata Danny.
Kembali ke Indonesia, Danny menyatakan, selain segmen Mentawai-Siberut, potensi gempa besar yang tinggi juga terdapat di daerah Maluku dan Nusa Tenggara. Namun, di lokasi-lokasi itu, data gempanya sangat sedikit. Begitu pun dengan potensi gempa besar dari Selat Sunda. “Kita cuma tahu sudah ratusan tahun tidak ada gempa artinya seismic gap,” katanya.
Sebelumnya, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono menyampaikan klarifikasi atas pernyataannya soal potensi gempa di zona megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut yang tinggal menunggu waktu. Menurutnya, munculnya kembali pembahasan potensi gempa di zona megathrust saat ini bukanlah bentuk peringatan dini yang seolah-olah dalam waktu dekat akan segera terjadi gempa besar. "Tidak demikian,” katanya lewat keterangan tertulis, Kamis 15 Agustus 2024.
Menurut Daryono, BMKG hanya mengingatkan kembali keberadaan Zona Megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut sebagai sebuah potensi yang diduga oleh para ahli sebagai zona kekosongan gempa besar (seismic gap) yang sudah berlangsung selama ratusan tahun. Seismic gap itu harus diwaspadai karena dapat melepaskan energi gempa signifikan yang dapat terjadi sewaktu-waktu.
Pilihan Editor: Begini Buaya di Australia Diajari Stop Memangsa Kodok Beracun, Biar Tidak Mati