TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan selalu memantau tingkat emisi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di area Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek). Pembangkit berbahan bakar batu bara itu merupakan salah satu satu penyebab utama penurunan kualitas udara di metropolitan.
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, Sigit Reliantoro, mengatakan lembaganya mewajibkan pemasangan teknologi Continuous Emissions Monitoring System (CEMS) di kalangan operator PLTU berkapasitas di atas 25 Megawatt (MW). Dengan alat itu, regulator bisa memantau emisi setiap PLTU secara daring.
“Terlapor secara realtime. Selama mereka memenuhi baku mutu, tidak ada masalah," kata Sigit dalam dalam jumpa pers di Kantor KLHK, Jakarta, Rabu, 21 Agustus 2024.
Sinyal khusus dari CEMS akan muncul bila asap buangan PLTU sudah mendekati batas baku mutu emisi, maka CEMS. Setelahnya, kata Sigit, KLHK bakal secepatnya menegor dan meminta perbaikan dari operator PLTU dalam kurun waktu 24 jam.
"Kalau tidak mereka perbaiki, maka harus menghentikan kegiatan,” tutur dia. “Atau kita bakal melaporkan ke Direktorat Penegakan Hukum (Gakkum) untuk dikenakan sanksi.”
Pengawasan soal baku mutu emisi itu juga menyasar PLTU Suralaya di Banten, proyek yang wacananya akan ditutup oleh pemerintah. Rencana penutupan yang diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, itu belum dirincikan kembali. “Penutupan itu bagian lain dari upaya penurunan pencemaran udara, dan pemenuhan dokumen iklim Nationally Determined Contribution (NDC),” kata Sigit.
Sekretaris PT Indonesia Power, Agung Siswanto, sebelumnya memastikan bahwa entitasnya mematuhi aturan ambang batas baku mutu lingkungan. Dia juga mengklaim bahwa polusi yang ditimbulkan dari operasional PLTU Suralaya tidak melebihi batas yang layak bagi kesehatan warga.
"Pada prinsipnya kami selaku operator mengikuti regulasi pemerintah," kata Agung kepada Tempo pada April 2024.
Pilihan Editor: PPI Jerman Tolak Revisi UU Pilkada: Jangan Berhenti Kritik Dinasti Keluarga