TEMPO.CO, Jakarta - Tim mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) mengembangkan permainan edukasi seks untuk anak. Pengembangan permainan edukasi seks ini dilatarbelakangi tingginya paparan konten pornografi dan kekerasan seksual pada anak yang ditegarai dipicu kurangnya perhatian masyarakat terhadap pendidikan seks sejak dini.
"Bahkan ada segelintir masyarakat yang menganggap ini (pendidikan seks) tabu,” kata Vicky Rian Saputra, mahasiswa Departemen Politik dan Pemerintahan yang juga menjadi ketua tim pengembangan permainan edukasi seks ini, seperti dikutip Tempo dari laman UGM pada Ahad, 8 September 2024.
Vicky dan timnya mengembangkan inovasi ini melalui Program Kreativitas Mahasiswa bidang Kewirausahaan (PKMK) UGM. Adapun tim ini yang beranggotakan Shahrin Nuri Ramadhani dan ‘Aisyah Khayyiratunnisa yang sama-sama dari program studi Psikologi; Muhammad Burhanudin Bachtiar (Teknik Industri); dan Devangga Hazza Mahiswara (Teknologi Rekayasa Perangkat Lunak).
Mahasiswa dari berbagai fakultas tersebut merancang permainan edukasi seks dalam bentuk papan berukuran 40x40 sentimeter yang terdiri dari lima bidak; satu set kartu BEE dan JOY; serta dua dadu permainan. Permainan edukasi ini juga dilengkapi dengan puzzle, pop-up story book, hingga kartu untuk memudahkan orang tua dalam memberikan pemahaman secara interaktif kepada anak. Mereka menyebut perangkat permainan ini dengan nama "Magic Box: Petualangan Ajaib".
Shahrin mengatakan, proses pengembangan edukasi seks berbasis papan permainan ini dipandu oleh dosen pembina yang berasal dari Fakultas Psikologi UGM. Papan permainan tersebut disusun menggunakan metode Family Strength Framework.
Permainan buatan mahasiswa UGM itu juga terhubung dengan aplikasi yang memuat konten edukasi sekaligus fitur untuk konsultasi. Dalam layanan konsultasi, "Magic Box: Petualangan Ajaib" diharapkan dapat menghubungkan pengguna dan para ahli psikolog. Permainan ini juga dibuat dan dikemas dengan nuansa menyenangkan untuk menghilangkan stigma tabu pada isu edukasi seks di usia dini.
“Harapannya, karya tim ini dapat mengubah stigmatisasi negatif dan memudahkan orang tua mengajarkan edukasi seks pada anak sedini mungkin,” kata Shahrin.
Hasil riset tim ini di sebuah sekolah menguatkan urgensi pendidikan seks usia dini. Sebanyak 85 persen siswa kelas 5 sekolah dasar terpapar konten pornografi. Sebanyak 57 persen di antara mereka sengaja membuka konten tersebut di platform YouTube. Sementara itu, dari pemberitaan selama ini, kasus kekerasan seksual anak juga beberapa kali terjadi, dilakukan oleh anak-anak. "Bentuk nyata munculnya kasus tersebut mengindikasikan rendahnya pemahaman edukasi seks pada anak-anak Indonesia," kata Vicky.
Sejumlah studi sebelumnya telah menyebutkan beberapa faktor yang dapat menjadikan anak berperan sebagai pelaku dalam tindak kekerasan seksual. Perilaku tersebut, misalnya, disebabkan anak pernah menjadi korban kekerasan seksual, dipengaruhi oleh lingkungan, didorong perilaku impulsif disertai rendahnya kontrol diri, serta kurangnya penanaman moral dan kedekatan dengan keluarga.
BAYU MENTARI (MAGANG)