TEMPO.CO, Bandung - Peneliti dari Institut Teknologi Bandung (ITB) mencoba membuat marka jalan dari gondorukem, bahan dari getah pinus, serta gliserol dari sawit. Digarap bersama Perum Perhutani dan PT Hakaaston, marka dari bahan alami itu diuji di ruas Tol Bakauheni-Terbanggi Besar, Lampung.
Dosen peneliti dari Kelompok Keahlian Teknik Pangan dan Kemurgi ITB, Aqsha, mengatakan gondorukem dan gliserol sudah dipakai sebagai marka jalan di luar negeri. Produk berbasis bahan nabati ini dikembangkan lataran lebih ramah lingkungan.
“Tidak seperti bahan marka jalan yang selama ini diimpor dan berbasis fosil,” kata dia melalui keterangan tertulis, Jumat, 13 September 2024.
Tim dari ITB sudah meneliti formulasi turunan gondorukem sejak 2014. Bersama para mitra korporasi, mereka akhirnya mengembangkan produk marka jalan ramah lingkungan sejak 2022. Proyek ini disokong dengan Grant Riset Sawit, dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Beberapa formulasi cat marka jalan berbasis gondorukem dan gliserol sempat diuji di jalan dalam Kampus ITB Jatinangor, Bandung, masing-masing pada Oktober 2022 dan November 2023. Bahan ini akhirnya diuji untuk membuat marka garis tepi atau garis putih sepanjang 1.000 meter di ruas bebas hambatan.
Pengujian ini berlokasi di di KM 125+200 hingga KM 126+200 jalur B Ruas Tol Bakauheni-Terbanggi Besar. Dengan bahan yang bersifat biodegradable, kata Aqsha, kualitas dan daya tahan marka jalan bisa menjadi lebih baik. “Kami berharap inovasi ini dapat mengurangi impor produk (marka jalan) serupa yang selama ini dilakukan,” tutur Aqsha.
Bahan baku gondorukem dan gliserol juga mudah didapat di dalam negeri. Menurut dia, Indonesia merupakan produsen gondorukem terbesar ke-3 di dunia dan penghasil sawit terbesar di dunia. Bila dikonversi, sumber daya Indonesia bisa memenuhi kebutuhan 90 ribu ton bahan marka jalan setiap tahunnya.
Pilihan Editor: KLHK Terbitkan Aturan Pelindung Aktivis Lingkungan, ICEL: Tinggal Polri yang Belum Punya