TEMPO.CO, Jakarta - Survei terbaru Cloudflare mengungkapkan bahwa 65 persen dari jumlah organisasi yang menjadi sasaran pemerasan via perangkat digital rela membayar uang tebusan. Dalam laporan berjudul ‘Menavigasi Lanskap Baru Keamanan: Survei Kesiapan Keamanan Siber Asia Pasifik’, entitas penyedia cloud itu membahas antisipasi serangan siber oleh organisasi di Asia Pasifik, langkah untuk mengantisipasi pelanggaran data, serta dampak kecerdasan buatan atau AI.
Wakil Presiden Cloudflare di Asia Tenggara, Kenneth Lai, mengatakan dampak insiden keamanan siber dan pelanggaran data tidak bisa disangkal. “Pimpinan keamanan siber terjebak antara regulasi yang semakin ketat dan sumber daya yang menyusut,” katanya, dikutip dari siaran resmi Cloudflare, Selasa, 17 September 2024.
Survei Cloudflare diikuti 3.844 individu pimpinan atau setidaknya pengambil keputusan keamanan siber dari berbagai perusahaan, baik skala kecil maupun besar. Respondennya dipilih dari 14 negara, Para responden tersebut berasal dari berbagai jenis industri, mulai dari energi, teknik dan otomotif, layanan keuangan, game, pemerintahan, kesehatan, manufaktur, pariwisata, dan sebagainya.
Menurut Kenneth, lingkungan yang memegang fungsi teknologi informasi (IT) menghadapi ancaman tanpa henti. Di satu sisi, tim IT juga cenderung harus bekerja ekstra meski kekurangan tenaga ahli. Dalam iklim ancaman siber. Cloudflare menilai pimpinan keamanan siber harus terus mengevaluasi tenaga ahli, anggaran, dan strategi agar bisa melindungi organisasinya.
Merujuk hasil survei Cloudflare, kekhawatiran terhadap ransomware, atau yang disebut sebagai perangkat pemeras, terus meningkat di Indonesia. Sebanyak 65 persen dari organisasi sasaran ransomware selama dua tahun terakhir akhirnya membayar tebusan, padahal mayoritas dari mereka sebelumnya menyatakan tidak akan melakukan hal itu.
“Mempertahankan diri dari serangan siber tetap menjadi prioritas,” tutur Kenneth. “Sebanyak 93 persen responden mengungkapkan bahwa 10 persen lebih anggaran TI mereka telah dikeluarkan untuk keamanan siber.”
Organisasi Bisa Diserang Berkali-kali
Sistem Remote Desktop Protocol (RDP) atau Virtual Private Network (VPN) menjadi pintu masuk peretas yang paling umum, terbukti dalam 65 persen kasus yang disurvei oleh Cloudflare. Ada juga temuan soal 40 persen responden yang mengalami pelanggaran data dalam kurun waktu setahun terakhir. Sebanyak 38 persen dari korban ransomware ini bahkan sudah diserang hingga lebih dari 11 kali.
Dalam laporan Cloudflare, jenis industri yang paling banyak mengalami pelanggaran data adalah bisnis perjalanan, disusul pariwisata, perhotelan, pendidikan, pemerintahan, kemudian informasi dan teknologi. Pelaku paling sering menargetkan data pelanggan, data keuangan, kemudian kredensial akses pengguna.
Pilihan Editor: Pemulihan Pasca Gempa Garut Dimulai, BNPB: Ada Dana Tunggu Rp 500 Ribu per Keluarga