Deretan robot baru yang tak mirip manusia itu didesain untuk menangani berbagai tugas, mulai melumpuhkan penembak jitu sampai menjalankan peran sebagai penjaga malam yang tak kenal lelah. Ketangguhan mereka diuji dalam sebuah fasilitas di pangkalan militer Fort Benning di Georgia untuk pelatihan perang kota.
Dalam latihan itu, sebuah robot berukuran 15 inci yang dilengkapi dengan kamera video menjalankan misi mengintai sebuah tempat pembuatan bom. Jauh di atasnya, melayang hampir tanpa suara sebuah pesawat nirawak yang memancarkan citra bangunan di bawahnya. Dari salah satu sudut muncul sebuah robot mirip tank kecil sebesar mobil pemotong rumput, yang dilengkapi dengan senapan mesin dan peluncur granat.
Tiga teknisi memanggul ransel, berdiri jauh dari garis depan, mengoperasikan ketiga robot dengan pengendali tanpa kabel seperti yang digunakan dalam permainan video game. Seorang teknisi mengendalikan gerakan kamera video pada robot bersenjata itu hingga menemukan seorang penembak jitu yang berada di atap bangunan. Senapan mesin di puncak robot berputar, membidik, dan menembaki target.
Mesin-mesin pintar itu tak hanya melindungi prajurit, tapi juga tak pernah lengah karena memiliki mata digital yang tak pernah berkedip, dan otomatis menangkap gerakan sekecil apa pun. Mereka juga tak pernah panik ketika dihujani tembakan.
“Alasan utama memiliki pasukan robot adalah mereka dapat membalas tembakan,” kata Joseph W. Dyer, pensiunan perwira tinggi angkatan laut dan kepala operasi iRobot, yaitu robot yang dapat membersihkan ranjau dan bahan peledak seperti Roomba, si robot vacuum cleaner.
Ketika robot itu memasuki medan perang, teknisi yang berada di tempat aman dapat mengawasi situasi sekitar lewat mata robot dengan tenang tanpa tergesa-gesa menembak.
Namun gagasan menerjunkan robot dengan sensor dan senjata, yang suatu saat menggantikan atau membantu prajurit di medan perang, masih menjadi sumber kontroversi. Para penentang menganggap penggunaan robot berpotensi membuat negara-negara makin gampang mengibarkan bendera perang dan memicu lomba senjata canggih.
“Perang akan amat mudah dipicu dan biayanya murah,” kata Wendell Wallach, anggota Yale Interdisciplinary Center for Bioethics dan ketua kelompok studi etika dan teknologi.
Warga sipil akan menghadapi risiko lebih besar, kata Wallach, karena kemampuan robot untuk membedakan antara tentara dan orang sipil masih dipertanyakan. Bagi manusia saja, tugas itu luar biasa sulit, sehingga akan makin sulit ketika robot itu dikendalikan dari jarak jauh.
Masalah itu sudah ditunjukkan oleh pesawat Predator, yang menemukan sasaran dengan bantuan prajurit di lapangan, tapi dioperasikan dari Amerika Serikat.
Banyaknya korban sipil yang tewas di Irak dan Afganistan akibat salah sasaran atau salah identifikasi membuat banyak negara menentang penggunaan Predator.
Tetapi banyak pakar strategi militer, perancang senjata, maupun pejabat militer yang mendukung pelibatan robot perang, termasuk beberapa aktivis hak asasi manusia.
“Banyak orang yang takut terhadap kecerdasan artifisial,” kata John Arquilla, Direktur Eksekutif Information Operations Center di Naval Postgraduate School. “Saya berani membandingkan robot dengan manusia setiap hari dan menjamin mereka akan lebih memperhatikan aturan main dan melakukan pelanggaran etika jauh lebih sedikit daripada prajurit biasa.”
Arquilla menyatakan robot tidak akan bertindak sembarangan karena sistem persenjataan yang dikendalikan oleh peranti lunak tidak akan beraksi ketika dipicu rasa marah dan dendam. Dalam beberapa kasus, robot dapat membuat keputusan yang jauh lebih baik di medan perang daripada manusia.
Keyakinannya pada mesin pintar itu telah teruji. “Beberapa orang berpikir bahwa struktur organisasi yang tepat di masa depan adalah yang dapat memadukan manusia dan mesin-mesin cerdas itu,” kata Arquilla. “Kami yakin itulah kunci keunggulan militer abad 21.”
Robot perang terbukti sangat vital dalam perang yang melibatkan tentara Amerika. Pesawat tak berawak, seperti Predator, Reaper, Raven, dan Global Hawk, telah menyelamatkan jiwa banyak prajurit Amerika di Irak dan Afganistan. Kini militer Amerika rutin menggunakan 6.000 robot yang dikendalikan dari jarak jauh untuk patroli di perbatasan maupun melucuti bom modifikasi.
NYTIMES | TJANDRA DEWI