TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo mulai menyoroti masalah sampah perkotaan yang kian menumpuk tiap hari. Ia menginginkan adanya teknologi yang digunakan untuk menuntaskan permasalahan sampah kota secara terintegrasi dan menyeluruh.
Baca Kritik Jokowi: Tak Ada Kota yang Berhasil Tangani Sampah
Ketua Tim Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Rudi Nugroho mengatakan proses termal menjadi solusi yang dapat dilakukan dalam waktu singkat. "Proses ini menggunakan insinerator untuk membakar sampah yang menumpuk di penampungan," kata dia di kantornya pada Rabu, 10 Februari 2016.
Meski prosesnya cepat, metode ini memiliki banyak risiko. Salah satunya emisi gas dan biaya yang tinggi. Rudi mengatakan tungku pembakar harus mencapai suhu ideal 1.000 derajat Celsius agar tak melepaskan gas beracun, seperti dioksin dan sulfur, ke udara. Persyaratan ini tak menjadi masalah bila sampah yang dibakar bersifat kering dan mudah dilalap api sehingga tak perlu menambah bahan bakar agar suhu meningkat.
Namun, dari sampah yang dihasilkan masyarakat, 60-70 persen merupakan sampah basah dan organik. Belum lagi, karena tempat penampungan pun tak tertutup, bila terguyur hujan, kadar airnya meningkat. Sampah sejenis ini sulit dibakar. “Jadi kita harus menambah solar atau batu bara yang digunakan untuk membakar. Biayanya bertambah lagi,” ucapnya.
Biaya pembangunan dan perawatan tungku pun tak murah. Pemerintah harus menyediakan Rp 1,3 triliun untuk membuat tungku berkapasitas 1.000 ton per hari. Perawatannya juga membutuhkan biaya miliaran rupiah.
Peneliti Madya Persampahan BPPT, Wahyono, mengakui tungku pembakaran bukanlah solusi tepat untuk pengelolaan sampah. Bahkan negara maju, seperti Jepang, Singapura, Amerika Serikat, dan sejumlah negara Eropa, sudah meninggalkan metode ini. “Mereka mulai menyadarkan masyarakat untuk mengolah sampah dari hulu, yaitu rumah tangga. Mereka memanfaatkan ulang sampah,” katanya.
Sebenarnya, dari sampah-sampah yang dibuang, masih ada material dan energi yang dapat dimanfaatkan. Sampah dapur bisa diolah kembali menjadi kompos, sedangkan sampah kering, seperti plastik dan kertas, bisa didaur ulang menjadi kerajinan tangan. Sisanya, yang sudah tak dapat dimanfaatkan lagi, berakhir di tungku pembakaran. “Bagaimanapun juga, pemerintah harus mendorong pengelolaan sampah dari unit terkecilnya. Sebab, teknologi hanya berperan 15 persen dalam hal ini. Sekitar 85 persen itu, ya, dari unsur nonteknis, seperti SDM, juga regulasi,” ujarnya.
URSULA FLORENE