TEMPO.CO, Jakarta - Benar atau salah, baik atau jahat, hero atau villain, adalah masalah perspektif. The Last of Us Part II, game terbaru dari developer Naughty Dog, bermain di konsep tersebut. Game yang dirilis eksklusif untuk console PlayStation 4 itu mencoba mengajak gamer untuk melihat bahwa ada berbagai sisi dari sebuah peristiwa.
"The Last of Us Part II dibuat untuk menantang sensitivitas dan cara pandang gamer terhadap moralitas karakter-karakter seri ini...Keadilan adalah masalah perspektif," ujar sutradara The Last of Us Part II, Neil Druckmann, dalam wawancaranya dengan Collider pekan lalu.
Bersetting lima tahun setelah prekuelnya, The Last of Us Part II mengambil fokus pada kisah Ellie Williams. Ellie, pada The Last of Us yang dirilis di PlayStation 3 adalah tokoh pendamping yang menemani Joel Miller melakukan perjalanan dari Boston ke Salt Lake City. Kala itu, Joel ditugaskan mengantar Ellie yang disebut-sebut sebagai kunci vaksin Cordyceps. Seperti yang diketahui dari endingnya, Joel malah membantai semua dokter yang ingin menguji Ellie karena ia tidak ingin kehilangan dirinya.
Di The Last of Us Part II, Ellie menggantikan posisi Joel. Kali ini, misinya bukan mengantar lagi, tetapi balas dendam.
Ellie Williams menggantikan Joel sebagai tokoh utama seri The Last of Us
Balas dendam tersebut dipicu peristiwa berdarah di Jackson, Wyoming, tempat Ellie dan Joel tinggal sekarang. Berharap bisa berlindung di sana dari Cordyceps, yang mengubah manusia menjadi zombie, Ellie dan Joel malah harus menghadapi invasi milisi dari Seattle, Washington. Korban berjatuhan dan darah bersimbah. Brutal.
The Last of Us Part II menghabiskan kurang lebih 30 jam untuk menceritakan kisah balas dendam tersebut. Sepanjang permainan, kisahnya disampaikan secara non linear, maju dan mundur, untuk memperlihatkan sebab dan akibat dari peristiwa di Jackson. Bahkan, ada bagian The Last of Us Part II di mana kisahnya ditarik mundur jauh ke event The Last of Us pertama untuk memperlihatkan bahwa semuanya berkaitan.
Selain disampaikan secara non linear, kisah The Last of Us Part II juga disampaikan lewat berbagai perspektif. Dalam hal ini, gamer harus siap tergoncang. Daya empati dan kritis akan diuji karena perbadaan benar dan salah, baik dan jahat, antagonis dan protagonis menjadi kabur. Sulitnya, bagian ini memakan porsi lumayan besar dari keseluruhan kisah The Last of Us Part II. Hal ini kekurangan atau kelebihan, itu kembali ke diri gamer.
"Kami ingin gamer berempati dengan karakter-karakter game ini, memahami apa yang mereka lakukan dan bagaimana cara mereka berpikir," ujar Druckmann ketika menceritakan pengembangan The Last of Us Part II untuk PlayStation 4.
Tampak jelas terlihat bahwa The Last of Us Part II mencoba meniru formula The Godfather Part II. Film karya Francis Ford Coppola itu memperlihatkan perjalanan mafia keluarga Corleone dari sisi Michael dan Vito. Keduanya sama-sama tokoh utama, namun mereka tidak sepenuhnya baik. Dalam berbagai hal, mereka sama-sama kelewat batas meski dengan pendekatan berbeda.
Pertarungan antara Ellie dan WLF di The Last of Us Part II
Cerita yang brutal dan kompleks tersebut dipadukan dengan gameplay yang tak kalah brutal juga. Brutal di sini bukan berarti sulit ala genre soulsbourne. Sebaliknya, gameplay The Last of Us Part II sangatlah dinamis, asyik, namun brutal secara presentasi. Kekerasan demi kekerasan akan dilakukan gamer untuk bertahan hidup sepanjang permainan. Ada kalanya kami bahkan merasa bersalah terhadap mereka yang kami habisi.
Seperti yang telah kami sampaikan, The Last of Us Part II mencoba memberikan kesadisan yang lebih 'berbobot'. Tiap pertarungan memiliki tantangan dan konsekuensi tersendiri. Medan pertempuran juga terus berubah, memaksa gamer bermain dengan cerdas.
Sembrono mencoba menghabisi semua musuh, maka gamer akan kehabisan amunisi untuk bertahan hidup. Terlalu lamban dan berhati-hati, maka gamer diendus musuh yang aktif mencari mangsa. Gamer harus proaktif, menghindari konfrontasi tak perlu, sambil berpikir 1-2 langkah ke depan untuk bertahan. Ketika gamer berhasil bertahan, hal itu memiliki kebahagiaan tersendiri.
Musuh-musuh The Last of Us Part II sendiri tak bodoh. Mereka lebih teliti dan sensitif terhadap situasi di sekitanya. Jika jejak gamer terlihat, mereka akan langsung menyelidikinya. Jika salah satu dari mereka meninggal, bantuan dihadirkan. Ketika berhadapan langsung, mereka lebih jago menghindar dibandingkan musuh-musuh di The Last of Us pertama. Menggunakan pistol juga tidak membuat posisi gamer otomatis di atas angin.
Ellie mampu menyelinap di The Last of Us Part II untuk berada di posisi yang lebih unggul dibanding musuh
Mudah mengatakan stealth is the way to go dalam memainkan The Last of Us Part II. Namun, percayalah bahwa tidak semudah itu di kenyataanya. Ada kalanya di mana gamer tidak akan memiliki pilihan selain bermain secara brutal, menggunakan segala daya dan amunisi untuk mengendalikan situasi. AI musuh yang semakin cerdas menjadi biang keladinya dalam hal ini.
Di balik kekerasan demi kekerasan yang ditampilkan, baik dalam hal cerita maupun gameplay, The Last of Us Part II adalah game yang indah secara visualisasi. Pemandangan Amerika usai kiamat terlihat memanjakan mata. Gedung-gedung bertingkat bersatu padu dengan alam liar yang mulai menguasainya. Tidak berlebihan mengatakan Naughty Dog mencoba memanfaatkan kemampuan Play Station 4 hingga ke titik maksimal untuk game ini.
Dunia The Last of Us part II pun terasa lebih luas dibandingkan prekuelnya. Seperti taman bermain, gamer bisa mengakses hampir semua bangunan yang ada sepanjang permainan. Jika gamer memanfaatkan dengan maksimal lingkungan di sekitarnya, maka itu akan memberi keuntungan dalam menghadapi musuh-musuh di The Last of Us Part II. Naughty Dog berhasil mengkombinasikan gameplay yang fun, cerita yang brutal, serta 'taman bermain' yang luas untuk game di penghujung hidup PlayStation 4 ini.
REZA MAULANA | ISTMAN MP | COLLIDER