TEMPO.CO, Jakarta - Pakar epidemiologi Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Defriman Djafri, mengatakan istilah zona hijau yang ditetapkan oleh pemerintah tidak bisa menjadi jaminan atau tolak ukur bahwa daerah tersebut sudah bebas dari wabah Covid-19. "Sebagai seorang epidemiolog saya melihat istilah zona itu tidak ada. Karena itu hanya gambaran pada hari tersebut," katanya saat dihubungi di Jakarta, Jumat 19 Juni 2020.
Ia menjelaskan bahwa saat ini setiap waktu masyarakat atau individu terus melakukan mobilitas atau pergerakan sosial sehingga potensi penularan dan penyebaran virus juga selalu ada. Sebagai contoh, hari ini ditetapkan sebagai zona hijau, namun besok bahkan beberapa jam setelah penetapan bisa terjadi penularan kasus baru.
"Ini yang salah sebenarnya, saya juga sudah membantah itu," kata Defriman yang juga Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Unand tersebut.
Menurutnya, pergerakan virus tersebut bisa secara bergelombang. Artinya, ketika ancaman sudah bisa dikendalikan dari dalam, namun dari luar atau lingkungan sekitar tetap, maka ancaman pun masih ada. Itu sebabnya dia menyarankan langkah atau kebijakan pemerintah dalam menerapkan normal baru lebih pada kesiapan dari masyarakat itu sendiri.
Lebih jauh Defriman mempertanyakan penetapan zona hijau, kuning dan merah tersebut. Kata dia, dalam ilmu epidemiologi penerapan normal baru berdasarkan zona hijau tidak bisa menjadi dasar.
Presiden Joko Widodo (tengah) bersama Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto (kiri) dan Kapolri Jenderal Pol Idham Aziz (kedua kanan) memberikan keterangan kepada wartawan usai meninjau salah satu pusat perbelanjaan, di Bekasi, Jawa Barat, Selasa, 26 Mei 2020. Kehadiran Presiden itu untuk meninjau persiapan prosedur pengoperasian mal yang berada di wilayah zona hijau, wabah COVID-19. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Selain itu, keterlambatan pemeriksaan karena keterbatasan sumber daya dan fasilitas kesehatan seharusnya juga menjadi pertimbangan dari pengambil kebijakan untuk daerah yang akan dan telah menerapkan normal baru. Sebab, kasus orang tanpa gejala (OTG) dan keterlambatan sistem pelaporan kasus dinilainya masih menjadi kendala di sejumlah daerah.
Kasus yang dilaporkan hari ini bukan berarti terjadi atau terinfeksi pada hari yang sama, bisa saja beberapa hari yang lalu karena keterlambatan tadi. "Di Sumatera Barat saja keterlambatan bisa tujuh hingga delapan hari, apalagi secara nasional," katanya.