TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah survei oleh Pew Research Center, sebuah institusi riset berbasis di Washington, belum lama ini menanyai orang-orang apakah mereka pernah mendengar teori bahwa wabah Covid-19 sengaja direncanakan oleh seseorang yang memiliki kekuasaan. Hasilnya, sebanyak 71 persen dari reponden yang merupakan orang dewasa di Amerika Serikat itu menjawab pernah. Dan sepertiga di antaranya mengatakan teori konspirasi itu' benar' atau 'mungkin saja benar'.
Satu versi teori yang pernah viral itu mengatakan begini: pandemi Covid-19 adalah bagian dari sebuah strategi yang disusun para elit global--seperti Bill Gates--untuk memasarkan vaksin dengan cip pelacak di dalamnya yang nantinya akan diaktivasi dengan teknologi seluler 5G.
Bagaimana teori seperti itu bisa tercipta dan kenapa Bill Gates yang jadi sasaran? Situs berita NPR menuliskan bahwa konspirasi yang bagus membutuhkan bahan racikan awal berupa argumentasi. Tidak perlu yang benar, yang penting argumentatif.
Dalam kasus teori konspirasi di atas, argumen yang disiapkan adalah soal chip pelacak. Ini bisa dikaitkan dengan satu tim peneliti di Massachusetts Institute of Technology yang pada Desember lalu mempublikasikan sebuah makalah dalam jurnal medis Science Translational Medicine. Mereka mendetailkan bagaimana sesuatu yang disebut quantum dots bisa diinjeksikan ke kulit untuk membangkitkan rekaman data vaksinasi yang pernah dilakukan.
Kevin McHugh, sekarang asisten profesor rekayasa biologis di Rice University, adalah ketua tim peneliti proyek titik kuantum itu. Dia mengaku bingung disebut programnya tersebut terkait dengan chip pelacak. "Tidak ada microchip sama sekali yang kami gunakan," katanya, "Saya bahkan tidak tahu dari mana asal tuduhan itu karena apa yang dihasilkan quantum dots adalah cahaya."
Teknologi itu, McHugh menjelaskan, baru sebatas diuji pada tikus dan belum pernah diuji pada manusia. Harapannya, quantum dot bisa memberikan informasi aktual kepada petugas medis tentang vaksin apa saja yang pernah diterima dan apa yang masih dibutuhkan seorang pasien.
"Sangat sulit untuk mengetahui pasti siapa yang telah menerima vaksinasi di negara-negara berkembang karena tidak tersedianya catatan yang rapi," kata McHugh.