TEMPO.CO, Jakarta - Laporan Pendidikan Jarak Jauh fase II atau pada semester awal tahun ajaran baru 2020/2021 menunjukkan hambatan berupa masih banyak siswa tidak memiliki gawai pintar (smartphone) secara pribadi. Bukan hanya di daerah, hambatan itu bahkan ditemukan pula di Jabodetabek.
"Persoalan hambatan selama PJJ tak hanya keterbatasan terhadap akses internet dan listrik tetapi juga pada kepemilikan gawai pintar," ujar Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Satriwan Salim, Kamis 23 Juli 2020.
Satriwan menyebutkan dalam satu keluarga kerap didapati hanya memiliki satu smartphone. "Itupun dipegang orang tua. Alhasil tidak bisa ikut pembelajaran daring bersama teman siang hari," kata dia.
FSGI meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendata jumlah siswa dan guru yang tidak mempunyai smartphone tersebut, bersama mereka yang tidak punya akses terhadap internet ataupun jenis hambatan lainnya. Kebijakan negara, kata Satriwan, sangat dibutuhkan segera untuk mengintervensi PJJ tersebut.
"Jika dibiarkan berlarut-larut, maka disparitas kesenjangan kualitas pembelajaran dan pendidikan kita makin besar antara siswa yang PJJ luring (luar jaringan) dengan siswa PJJ daring," katanya.
FSGI, dalam laporan yang sama, juga memberi catatan terhadap koordinasi lintas kementerian dan lembaga antara pemerintah pusat dan daerah yang dinilainya belum banyak terasa. Terutama, FSGI menunjuk penyelesaian persoalanan-persoalan PJJ luar jaringan.
Setidaknya, Satriawan mengungkapkan, terdapat lebih dari 46 ribu sekolah yang tidak dapat merasakan PJJ daring tersebut. Ini terjadi mayoritas di daerah pelosok, pegunungan, khususnya di daerah tertinggal, terluar, dan terdepan.
Keterbatasan terhadap akses internet, listrik, tidak punya smartphone atau komputer membuat pembelajaran dilakukan dengan metode guru berkunjung ke rumah siswa atau luring. Tetapi metode itu tidak efektif, sebab jumlah guru tak memadai jika harus melayani semua siswa satu per satu.
"Guru yang terbatas, waktu sangat terbatas, bahkan acap kali guru tak bisa berkunjung karena faktor geografis jauhnya rumah siswa di pegunungan yg sulit ditempuh guru," kata Satriwan.