3. Nama Covid-19
Badan Kesehatan Dunia (WHO), pada 11 Februari 2020, telah menetapkan nama Covid-19 untuk penyakit yang dsebabkan virus corona baru yang mewabah dari Wuhan, Cina. Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, merincinya sebagai 'co' berarti 'corona, 'vi' untuk 'virus', dan 'd' adalah 'disease', sedang '19' menunjuk tahun ketika wabah teridentifikasi pertama yakni pada 31 Desember 2019.
Tedros Adhanom Ghebreyesus, Dirjen WHO. Sumber: Reuters / Denis Balibouse/rt.com
Menurutnya, nama Covid-19 sengaja dipilih menghindari stigma terhadap lokasi geografis, spesies hewan, atau komunitas tertentu sesuai rekomendasi internasional dalam hal penamaan. Berdasarkan panduan yang diterbitkannya 2015 lalu, WHO menyarankan tidak menggunakan nama lokasi seperti yang pernah dilakukannya dengan virus Ebola dan Zika. Penamaan dua virus itu menggunakan nama lokasi di mana penyakitnya pertama teridentifikasi, akibatnya publik kini selalu mengaitkan lokasi-penyakit itu.
Nama-nama yang lebih umum atau generik seperti halnya "Middle East Respiratory Syndrome atau MERS” atau "Flu Spanyol" juga kini dihindari karena bisa menciptakan stigma ke seluruh wilayah atau kelompok etnik tertentu. Menggunakan nama orang—biasanya nama penemunya—juga dilarang berdasarkan panduan terbaru WHO.
WHO juga mencatat kalau pemberian nama menggunakan nama spesies hewan bisa menciptakan kebingungan. Contoh yang ini ketika virus H1N1 populer sebagai flu babi pada 2009 lalu. Penamaan itu memukul industri babi meski penyakit flu itu sebenarnya bisa menyebar lebih luas karena penularan oleh manusia daripada oleh babi.
4. Menular Melalui Udara dan Perdebatannya
WHO, pada Juli 2020, membuka kemungkinan risiko penularan Covid-19 melalui udara. Hal tersebut muncul setelah 239 ilmuwan di seluruh dunia mengirim surat terbuka kepada WHO yang merinci bukti penularan melalui udara.
“Kami harus terbuka terhadap bukti ini dan memahami implikasinya mengenai mode transmisi dan mengenai tindakan pencegahan yang perlu diambil," ujar Pimpinan teknis WHO untuk pencegahan dan pengendalian infeksi, Benedetta Allegranzi.
Surat dari para ilmuwan menyerukan penyesuaian protokol kesehatan dan pengakuan mengenai risiko penularan Covid-19 melalui udara yang lebih besar. Tiga contoh kasus penularan lewat udara adalah kasus di tengah kelompok paduan suara, penumpang dalam bus, dan kasus penularan di sebuah restoran yang dilengkapi penyejuk ruangan.
Sebelumnya, WHO mencatat bahwa transmisi melalui udara mungkin terjadi dalam keadaan tertentu di mana aerosol yang lebih kecil dari 5 mikron dihasilkan, seperti ketika prosedur medis dilakukan di rumah sakit. "WHO sedang melihat kemungkinan peran transmisi udara di kondisi lain, seperti di lokasi yang dekat dengan ventilasi buruk," kata pimpinan teknis WHO untuk Covid-19 Maria Van Kerkhove.
5. Covid-19 Produksi Laboratorium?
Pada Maret 2020, banyak informasi beredar yang menyatakan bahwa Covid-19 sengaja dibuat atau produk rekayasa laboratorium. Namun, hasil studi yang telah dipublikasikan dalam jurnal Nature Medicine membantahnya. Kesimpulannya menyebutkan bahwa virus corona baru itu adalah buah proses evolusi alami.
Studi itu dipimpin oleh Kristian Andersen, profesor imunologi dan mikrobiologi di Scripps Research Institute di La Jolla, California, Amerika Serikat. Dia menjelaskan, sejak awal wabah Covid-19, para peneliti telah menguliti asal-usul virus penyebab pneumonia itu dengan menganalisis data urutan genomnya.
"Dengan membandingkan data urutan genom jenis-jenis virus corona yang sudah ada, kami dapat dengan tegas menentukan bahwa SARS-CoV-2 berasal dari proses alami," ujar Andersen.
Sejak awal, para ahli mengaitkan virus dengan pasar makanan laut di Wuhan, Provinsi Hubei, Cina. Makalah-makalah penelitian yang ada menduga bahwa virus tersebut mungkin telah menyebar ke manusia dari mamalia yang diperdagangkan secara ilegal.