6. Berasal dari Kelelawar
Ahli virologi Cina, Shi Zhengli, mencurigai kelelawar jenis tapal kuda sebagai inang dari Covid-19. Dalam penelitiannya, Zhengli mengungkap adanya 'perlombaan' evolusi antara protein yang ada di virus corona dan di sel kelelawar jenis itu. Evolusi itu melahirkan beragam genetik si virus.
Publikasi temuan itu dilakukan pada Mei, di tengah kecurigaan Amerika kalau Covid-19 berasal dari laboratorium di Cina. Tepatnya dari laboratorium Institut Virologi Wuhan yang dipimpin Zhengli. Namun peneliti perempuan yang dikenal sebagai 'Bat Woman' itu menegaskan virus itu produk evolusi alami dan telah melompat ke manusia dari kelelawar.
Zhengli menunjuk spesifik Rhinolophidae salah satu jenis kelelawar yang merupakan inang dari virus yang sedang menciptakan pandemi tersebut. Ini adalah jenis kelelawar yang sama yang berada di balik wabah SADS (Swine Acute Diarrhea Syndrome) yang menyebabkan kematian 25 ribu babi pada 2016-2017 lalu.
Penelitiannya yang terbaru mendapati kelelawar jenis itu membawa banyak virus corona dengan keragaman genetik yang tinggi. Keragaman itu terutama dalam protein paku virus yang berperan menempel pada sel manusia dan menginfeksinya.
Pintu masuk ke pasar makanan laut Huanan, tempat virus corona diyakini pertama kali muncul, diblokir dengan pagar biru ketika dipotret di Wuhan, provinsi Hubei, Cina 30 Maret 2020.[REUTERS / Aly Song]
Penelitian Zhengli pertama kali dipublikasikan dalam platform bioRxiv berjudul, "Evolusi antara virus dan inangnya memicu beragam genetika dalam kelelawar SARS" pada 14 Mei 2020. Temuannya menyebutkan bahwa protein paku SARS-CoV dan protein reseptor ACE2 pada kelelawar tapal kuda mungkin telah berevolusi bareng dan mengalami seleksi yang ketat satu sama lain.
7. Vaksin Covid-19 vs Kontroversi vs Mutasi Virus
Pandemi yang panjang membuat masyarakat dunia sangat menantikan kehadiran vaksin. Pengembangan dan uji klinis pun bersemi di sejumlah negara seperti Amerika, Inggris, Rusia, dan Cina. Di sinilah kontroversi mewarnai, mulai dari uji klinis yang jauh lebih singkat oleh para pengembang vaksin sampai riset yang dianggap mengambil jalan pintas secara ekstrem di Rusia.
Di tanah air, kontroversi terjadi saat tim peneliti di Universitas Airlangga mengumumkan temuan kombinasi obat yang dianggap tak melalui prosedur ilmiah yang seharusnya. Permohonan untuk segera bisa produksi massal pun dijegal dan prosedur diulang kembali.
Untuk obat pula, WHO akhirnya mencoret remdesivir sebagai obat yang potensial untuk menolong pasien Covid-19 pada November. Sebelumnya WHO juga sempat membekukan uji hidroxychloroquine pada Mei namun kemudian menjalankannya lagi sebulan berselang. Alasan untuk keduanya sama yakni keraguan bisa membuat pasien lebih baik dan bahkan meningkatkan risiko kematian.
Tak kalah, Indonesia juga ikut mengembangkan vaksin sendiri di bawah koordinasi Tim Nasional Pengembangan Vaksin Merah Putih. Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang Brodjonegoro menunjuk tujuh pengembang di kampus-kampus dan lembaga dan mengungkapkan ada dua pengembangan bibit vaksin Merah Putih dengan platform yang berbeda yang progresnya dinilai relatif cepat.
Di dunia, sejumlah vaksin Covid-19 sudah melampaui uji klinis fase akhirnya di pengujung tahun. Beberapa bahkan sudah mengantongi izin penggunaan darurat, dengan syarat efikasi lebih dari 50 persen, dan mulai didistribusikan terutama di negara maju atau kaya. Proses distribusi tepat saat gelombang kedua pandemi kembali menyapu banyak negara di dunia.
Di dalam gelombang kedua itu pula terungkap mutasi baru virus corona Covid-19 yang lebih infektif , seperti yang disebut varian G dan yang terbaru dari Inggris B117. Sejauh ini, WHO dan para pengembang vaksin yakin, mutasi bisa diatasi.