TEMPO.CO, Jakarta - Angkatan Laut Amerika Serikat sedang mengembangkan pesawat bertenaga surya tanpa pilot alias nirawak. Pesawat itu dikabarkan akan memiliki kemampuan terbang selama 90 hari secara kontinyu dan akan difungsikan membantu mengawasi kapal angkatan laut atau sebagai platform relay komunikasi.
Pesawat yang diberi nama Skydweller itu dikembangkan oleh Skydweller Aero, dibangun dari pesawat berawak Solar Impulse 2 yang terbang keliling dunia pada 2015 dan 2016, tetapi harus berhenti setiap lima hari. Versi yang ditingkatkan akan menghilangkan kokpit, memungkinkan ruang perangkat keras berkemampuan otonom.
CEO Skydweller Aero, Robert Miller, menjelaskan, dengan melepas kokpit, pesawat akan mampu mengangkut sekitar 400 kilogram muatan tambahan. Saat ini, pihaknya berencana menguji penerbangan otonom, berikutnya uji lepas landas otonom, pendaratan otonom dan akhirnya penerbangan otonom penuh.
“Setelah semua ini terbukti, kami akan beralih ke pengujian daya tahan lama dengan tujuan beroperasi selama 90 hari lebih,” ujar Miller kepada New Scientist, Kamis, 5 Agustus 2021.
Skydweller memiliki bentang sayap sepanjang 236 kaki (72 meter) yang dalam produksinya bisa saja ditambahkan dengan sel bahan bakar hidrogen untuk dorongan tambahan. Yang jelas, sayapnya itu akan ditutupi dengan 2.900 kaki (884 meter) persegi sel surya, yang menyediakan daya 2 kilowatt.
Pesawat otonom akan melaju dengan kecepatan hingga 100 knot dan terbang setinggi 45.931 kaki (14.000 meter) di atas permukaan, dan membawa muatan 800 pon (363 kilogram).
Salah satu pendiri Skydweller Aero, John Parkes, menjelaskan kepada Aviation, bahwa misi Skydweller tidak akan dapat dilakukan oleh pesawat lain. “Intinya melakukan Skydweller ini akan lebih baik, cerdas, murah, dan efektif," kata Parkes sambil menambahkan, Skydweller akan digunakan khusus untuk melakukan misi intelijen, pengawasan dan pengintaian (ISR) dari perspektif udara dengan lebih efektif.
Kabar pengembangan Skydweller mengikuti pengumuman dari Angkatan Udara Amerika bahwa pesawat itu akan segera menggantikan MQ-9 Reaper, drone pesawat yang mampu terbang dikendalikan dari jarak jauh atau otonom. Meskipun Skydweller tidak memasukkan semua kemampuan Reaper, Parkes mencatat itu bisa membantu mengurangi biaya militer.
“Mampu terbang ribuan mil, bertahan di suatu area selama 30-60 hari dan terbang kembali adalah pembeda,” kata Parkes.
Menurut Parkes, hal itu menjadi penghematan biaya yang sangat besar bagi pemerintah ketika melihat seluruh biaya untuk melakukan banyak misi keamanan nasional yang dimiliki. Satu hal lagi, Skydweller tidak perlu lepas landas atau mendarat sebanyak MQ-9 Reaper.
NEW SCIENTIST | AVIATION | DAILY MAIL | THE DRIVE