TEMPO.CO, Jakarta - Penelitian atas fenomena milky sea berhasil mendeteksi satu lokasi penampakannya yang paling sering di lautan dunia, yang ternyata sangat dekat dari Indonesia. Pernah hidup sebagai legenda di antara para pelaut selama berabad-abad, fenomena yang tampak seperti tumpahan cairan susu lewat kilau putih pucat yang seragam, tetap dan meluas itu teryata kerap muncul di Samudera Hindia di selatan Pulau Jawa.
Penelitian terbaru tersebut memburu fenomena yang pernah dipercayai sebagai tanda kehadiran monster laut ataupun putri duyung itu dari luar angkasa secara hampir real time. Menggunakan dua satelit cuaca NOAA—Suomi National Polar-orbitting Partnership (NPP) dan Joint Polar Satellite System—para peneliti telah mengembangkan kemampuan identifikasi cepat kejadian-kejadian milky sea, membuka jalan untuk studi bisa dilakukan di lokasi sebelum fenomena berlalu.
Selama ini, dari laporan-laporan yang ada, milky sea dideskripsikan dengan berlayar melaluinya seperti sedang menyeberangi padang salju atau puncak awan. Kemilau putihnya begitu pucat sehingga sinar Bulan pun mampu menutupinya dari penglihatan mata manusia. Itu sebabnya kejadiannya dikenal langka sehingga belum pernah ada studi yang pernah dilakukan padanya.
Sebelum metode pencarian menggunakan satelit, ilmuwan sebelumnya bisa mengalami kesempatan studi itu sekali ketika Kapal R/V Lima melaporkan telah melintasi perairan yang bersinar di Laut Arab pada 1985. Sampel air dari kapal itu mengidentifikasi adanya alga yang diselimuti bakteri Vibrio harveyi yang bisa memancarkan cahaya (bioluminescence). Dari sampel itu, ilmuwan menduga fenomena milky sea terkait dengan sekumpulan besar material organik.
Bakteri V. harveyi, begitu populasinya tumbuh cukup massif, akan mengaktifkan sifat luminesens mereka melalui proses yang disebut quorum sensing. Setiap individu bakteri menebar perairannya dengan sekresi kimiawi yang mendorong proses biokimia (autoinducer) yang ketika emisinya itu mencapai kerapatan tertentu, cahaya akan muncul.
“Anda tahu ketika Anda melihat cahaya ini, berarti ada populasi bakteri luminesens yang sangat besar di sana,” kata profesor emeritus di University of Southern California, Amerika Serikat, Kenneth Nealson—bukan bagian dari tim penelitian yang terbaru.
Nealson bersama rekannya sesama ilmuwan Woody Hastings pernah mengidentifikasi fenomena milky sea pada 1960-an. Dia memperkirakan butuh sekitar 10 juta bakteri per mililiter air untuk memicu perairan menjadi bercahaya.
Berhimpunnya begitu besar jumlah bakteri di satu bagian dari lautan, Nealson menambahkan, tentu butuh keberadaan sumber makanan yang berlimpah. Dugaan para ilmuwan adalah koloni bakteri-bakteri itu berpesta dengan sisa-sisa ledakan alga yang juga massif.
“Jika Anda memberi makanan yang tepat, mereka akan berkembang biak berlipat ganda setiap setengah jam,” kata Nealson. “Tidak sampai sehari jumlah mereka sudah akan melebihi 10 juta per mililiter.”
Tidak seperti saat ledakan alga yang mendorong fenomena seperti air pasang merah, yang membuat ikan-ikan menyingkir, fenomena milky sea justru berperan menarik ikan-ikan datang. Ikan makan bakteri, juga alga yang sudah mati, dan konsumsi itu tidak mengakhiri siklus hidup si bakteri.
“Bagi bakteri, berada di dalam perut ikan adalah lingkungan yang menyenangkan,” kata Steve Haddock, ahli biologi di Monterey Bay Aquarium Research Institute di California, Amerika Serikat. Haddock adalah juga anggota tim dalam penelitian milky sea terbaru menggunakan data satelit NOAA. “Bakteri bisa hidup di perut ikan seperti halnya dalam tubuh kita, manusia,” kata dia menambahkan.
Studi oleh Haddock dan Steve Miller, peneliti senior di Colorado State University, juga dua peneliti lainnya melacak milky sea terjadi sedikitnya selusin kali di perairan Samudera Hindia dan sekitar Indonesia antara 2012-2021. Yang terbesar mereka dapati terjadi di selatan Jawa pada 2009, yakni pada 26 Juli hingga 9 Agustus. Citra satelit mengkonfirmasi laut bercahaya saat itu di luasan lebih dari 100 ribu kilometer persegi. Diperkirakan, jumlah bakteri yang terlibat dalam fenomena itu melampaui 10 sektiliun (1 sektiliun setara 1.000 triliun).
NOAA, EOS
Baca juga:
Ada Darth Vader Isopod Raksasa di Laut Dalam Selatan Jawa