TEMPO.CO, Jakarta - Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mendesak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk melakukan peninjauan ulang dan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan dan pelaksanaan sistem Penerimaan Peserta Didik Baru atau PPDB. Sebab, kebijakan ini menimbulkan berbagai masalah, mulai dari sekolah kekurangan siswa hingga migrasi Kartu Keluarga (KK) demi sekolah favorit.
“Evaluasi secara total dan komprehensif serta tinjauan ulang kembali sistem PPDB sangat penting dilakukan Kemendikbudristek, karena P2G menilai tujuan utama PPDB mulai melenceng dari relnya,” kata Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim dalam keterangannya, Senin, 10 Juli 2023.
Menurut Satriawan, ini merupakan persoalan klasik yang terjadi setiap tahun. P2G mencatat lima persoalan utama yang selalu terjadi selama pelaksanaan PPDB yang sudah berusia tujuh tahun, yaitu sebagai berikut.
Migrasi Kartu Keluarga
PPDB memunculkan fenomena migrasi domisili melalui KK calon siswa ke wilayah sekitar sekolah yang dinilai favorit oleh orang tua. Ini umumnya terjadi di wilayah yang punya sekolah yang disebut unggulan.
Modusnya dilakukan dengan memasukkan atau menitipkan nama calon siswa ke KK warga sekitar. Kasus ini dicatat pernah terjadi di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jakarta, Jawa Timur dan terbaru di Kota Bogor.
Dalam Peraturan Mendikbudristek Nomor 1 Tahun 2021 tentang PPDB pasal 17 ayat 2 tertulis: “Domisili calon peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan alamat pada kartu keluarga yang diterbitkan paling singkat 1 (satu) tahun sebelum tanggal pendaftaran PPDB.”
Artinya, perpindahan alamat KK yang diperkenankan secara hukum adalah maksimal satu tahun sebelum pendaftaran PPDB. “Di sisi lain, fakta menunjukkan kualitas sekolah di Indonesia belum merata. Menyebabkan orang tua masih berlomba-lomba memasukkan anaknya ke sekolah yang dianggap lebih unggul,” kata Satriwan.
Satriwan menilai tujuan utama PPDB untuk pemerataan kualitas pendidikan hingga sekarang belum terwujud. Tingkat kesenjangan kualitas antarsekolah negeri masih terjadi, bahkan semakin tinggi.
Kelebihan Peserta Didik
Problematika PPDB lainnya yang dicatat oleh P2G adalah kelebihan calon peserta didik baru karena terbatasnya daya tampung, khususnya di wilayah perkotaan. Jumlah sekolah negeri dan daya tampung sekolah umumnya lebih sedikit ketimbang jumlah calon siswa.
Karena sebaran sekolah negeri tak merata, alhasil calon siswa terlempar meskipun berada di satu zona. Contoh di DKI Jakarta, jumlah calon peserta didik baru (CPDB) 2023 jenjang SMP/MTs adalah 149.530 siswa, tetapi total daya tampung hanya 71.489 siswa atau sekitar 47,81 persen saja.
“Implikasinya adalah dipastikan tidak semua calon siswa dapat diterima di sekolah negeri, dan swasta menjadi pilihan terakhir,” kata Satriwan.
Menurut P2G, hal ini dapat diatasi dengan membangun Unit Sekolah Baru (USB) atau tambahan ruang kelas dengan mempertimbangkan cara sekolah swasta tetap punya siswa. “Pemprov DKI Jakarta yang APBD-nya besar saja tidak mampu menambah USB dan ruang kelas baru. Faktor biaya besar dan keterbatasan lahan baru untuk USB penyebabnya,” kata Satriwan.
Sekolah Kekurangan Siswa
Sekolah juga sering mengalami masalah sepi peminat karena faktor jumlah calon siswa yang sedikit bertemu jumlah sekolah negeri yang banyak. Sekolah-sekolah ini pun berdekatan lokasinya satu sama lain dan berada jauh di pelosok atau perbatasan yang aksesnya sulit.
Kasus ini terjadi antara lain di Magelang, Temanggung, Solo, Batang, Jepara, Semarang, Yogyakarta dan Pangkal Pinang. Di Batang, misalnya, ada 21 SMP negeri kekurangan siswa pada PPDB 2022. Sedangkan di Jepara, dalam PPDB 2023 hingga akhir Juni tercatat 12 SMP negeri masih kekurangan siswa.
“Di Kabupaten Semarang dalam PPDB 2023 ini sebanyak 99 SD negeri tak dapat siswa baru, sehingga guru harus mencari murid dari rumah ke rumah,” kata Kepala Bidang Litbang Pendidikan P2G Feriansyah.
Menurut Feri, persoalan ini dapat berdampak serius kepada jam mengajar guru. Bagi guru yang sudah mendapat Tunjangan Profesi Guru bisa terancam tidak menerima lagi tunjangannya, karena kekurangan jam mengajar 24 jam/seminggu yang disyaratkan oleh peraturan.
“Solusi sekolah kekurangan murid adalah Pemda hendaknya melakukan merger, menggabungkan sekolah negeri dan memperbaiki akses infrastruktur dan transportasi menuju sekolah,” kata Feri.
Solusi di atas akan membutuhkan biaya tinggi dan melibatkan kementerian lain, pekerjaan yang membutuhkan sinergisitas antara kementerian dan Pemda.
Jual beli kursi
Masalah dalam PPDB yang juga kerap muncul adalah praktik jual beli kursi, pungli dan siswa “titipan dari pejabat wilayah setempat. P2G mencatat kasus demikian terjadi di Bali, Bengkulu, Tangerang, Bandung dan Depok.
Di Bengkulu dalam PPDB 2023, misalnya, ada indikasi patut diduga guru melakukan jual beli kursi kepada calon orang tua siswa. Selain itu, muncul dugaan pungli sejak 2017.
“Jadi selama PPDB tak hanya jalur zonasi, prestasi, afirmasi yang ada, tetapi juga ada jalur intervensi, intimidasi, dan surat sakti,” kata Feri.
P2G menyarankan orang tua dan guru untuk jangan takut menyampaikan dugaan pungli atau siswa titipan pada Dinas Pendidikan, Satgas Saber Pungli, Ombudsman atau Kemdikbudristek, bahkan ke media massa. P2G juga mendesak pihak Inspektorat Daerah, Dinas Pendidikan, dan Ombudsman hendaknya agresif melakukan monitoring, pengawasan, dan evaluasi pelaksanaan PPDB dan indikasi kecurangannya. Terpenting adalah tindak lanjutnya.
P2G pun meminta jika terjadi dugaan pungli, hendaknya pelaku diberikan sanksi tegas atau diselesaikan melalui jalur hukum sebagai pembelajaran agar guru bekerja dengan bersih dan jujur.
Anak jalur afirmasi dan satu zona terlempar
Permasalahan PPDB lain yang mendesak adalah anak yang berasal dari keluarga tidak mampu atau melalui jalur afirmasi dan anak dalam satu zona tidak dapat tertampung di sekolah negeri. “Bagi P2G, sistem PPDB oleh pemerintah wajib memprioritaskan anak miskin dan satu zona untuk diterima di sekolah negeri,” kata Feri.
Menurut P2G, sepanjang anak miskin dan anak dekat sekolah tak dapat ditampung di sekolah negeri, maka sistem PPDB gagal dalam mencapai tujuan utamanya. Pemerintah pun dinilai gagal dalam membangun sistem pendidikan yang berkeadilan dan berkualitas.
Ke depannya, pemerataan sarana dan sarana pendidikan diharapkan akan berbanding lurus dengan perekrutan guru oleh pemerintah daerah, sehingga fenomena masalah dalam PPDB dapat ditinjau dari kinerja dan kemauan politik pemerintah dalam membangun pendidikan yang berkeadilan.
Pilihan Editor: Sederet Carut Marut dalam Sistem Zonasi PPDB 2023