TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan terbaru memperbolehkan peserta pemilu menggelar kampanye di tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dan hadir tanpa atribut. Hal ini tertuang dalam Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Selasa, 15 Agustus 2023.
Dewan Pengurus Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mengkhawatirkan amar putusan tersebut. “Kami khawatir putusan tersebut akan mengganggu proses belajar dan mengajar. Penggunaan fasilitas pendidikan, jika ditafsirkan sebagai penggunaan lahan dan bangunan sekolah dan universitas maka jelas mengganggu pembelajaran,” kata Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri dalam keterangannya, Senin, 21 Agustus 2023.
Berdasarkan penjelasan Pasal 280 ayat 1 huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menjadi perkara, yang dimaksud dengan “tempat pendidikan” adalah gedung dan/atau halaman sekolah dan/atau perguruan tinggi.
Atas putusan ini, P2G melihat “sepanjang mendapatkan izin dari penanggung jawab tempat” sebagai frasa yang bermasalah. Dalam penggunaan gedung sekolah untuk kampanye pemilu, kepala sekolah dinilai akan sulit menolak perintah dari pemerintah daerah dan Dinas Pendidikan. Apalagi jika pimpinan struktural di sekolah atau daerah sudah punya preferensi politik tertentu.
P2G pun mempertanyakan siapa yang akan bertanggung jawab atas kerusakan dan kehilangan fasilitas atau aset sekolah jika dilakukan kampanye di tempat pendidikan. Jika tanggung jawab dikembalikan ke sekolah, mereka menilai hal itu jelas akan membebani sekolah. Padahal, pemilu dan pendidikan memiliki anggaran berbeda.
“Ini seperti anggaran pendidikan dituntut mensubsidi pemilu yang juga sudah ada anggarannya. Karena sudah pasti setiap kerusakan akan ditanggung sekolah dari anggaran pendidikan,” kata Iman.
P2G juga mempertanyakan urgensi penggunaan fasilitas pendidikan untuk kampanye, padahal masih banyak fasilitas pemerintah lainnya yang dapat digunakan. “Memang tidak ada tempat lain? Kenapa Pemilu malah harus menggunakan lahan dan gedung sekolah atau fasilitas pendidikan? Kan masih banyak fasilitas pemerintah lainnya. Jangan pendidikan dikorbankan,” tegas guru honorer ini.
Khawatir pembelajaran terdistorsi
P2G pun sangat mengkhawatirkan putusan MK ini akan membahayakan kepentingan siswa, guru dan orang tua dan menjadi beban dalam pembelajaran di sekolah. Kegiatan sekolah akan bertambah, seperti sosialisasi pemilu atau sosialisasi kandidat, dan pastinya akan menjadi beban psikologi bagi siswa dan guru.
“Bayangkan ada pemilu dan pilkada yang akan dihadapi. Sekolah akan sibuk menjadi arena pertarungan politik praktis. Sekolah, guru, siswa, dan orang tua akan membawa politik partisan ke ruang ruang belajar,” kata Iman.
Menurut Iman, aktivitas pedagogi akan didistorsi menjadi aktivitas saling berebut politik kekuasaan. Siswa, guru dan warga sekolah akan sangat rentan dimobilisasi sebagai tim kampanye atau tim sukses para kandidat. Iman menilai ini bukan pendidikan politik, melainkan mobilisasi politik yang akan berdampak buruk.
Kemungkinan terjadi perundungan
Selain itu, kondisi demikian juga diprediksi akan membuat rentan terjadinya perundungan di sekolah. “Sebagai contoh, siswa yang pilihan politiknya berbeda dari pilihan mayoritas murid lain rentan akan dirundung oleh teman-temannya, apalagi jika materi kampanye kandidat atau parpol sudah mengarah pada isu politik identitas,” kata Iman.
Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Pendidikan P2G, Feriyansyah menyebut di lingkungan pendidikan yang dibutuhkan adalah edukasi politik, bukan malah menggunakan fasilitas pendidikan hanya pada saat pemilu. Apalagi yang perlu ditekankan dalam edukasi politik adalah netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam pemilu dan kampanye.
“Potensi pejabat atau atasan memobilisasi ASN pada kandidat atau partai tertentu, dan kalau memang terpaksa menggunakan sarana prasarana sekolah dan lembaga pendidikan, harus diperhatikan transparansi dan akuntabilitasnya,” kata Feriyansyah.
Pendidikan politik, bukan politik praktis
Penggunaan fasilitas pendidikan untuk pemilu juga dinilai akan memberi persepsi bagi guru, tenaga pendidikndan peserta didik bahwa politik hanya menjadi beban dan mengajarkan bahwa kegiatan politik hanya datang setiap pemilu atau jika berkepentingan saja. “Memori bahwa politik hanya praktik kepentingan setiap pemilu saja adalah memori yang tidak mendidik. Ini yang tidak kita harapkan,” kata Feriansyah.
P2G pun berkiblat pada negara-negara maju dengan sistem pendidikan dan demokrasi seperti Eropa Utara dan Amerika Utara yang tidak mempraktikkan kampanye politik elektoral di sekolah. “Pendidikan politik jangan diartikan dengan sekolah dan madrasah menjadi ajang kampanye politik praktis. Pendidikan politik di sekolah itu harus, tapi kampanye kandidat dan partai jangan di sekolah,” ujar Feriyansyah.
Pilihan Editor: FSGI Sayangkan Putusan MK, Sebut Tempat Pendidikan Harusnya Netral dari Kampanye