TEMPO.CO, Jakarta - Ibu Kota Nusantara (IKN) yang dibangun di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, menjauhkan masyarakat setempat terhadap akses sumber kehidupan. Pernyataan ini disampaikan Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Timur, Fathur Roziqin Fen menanggapi proyek pengadaan air bagi IKN yang itu berdampak pada masyarakat sekitar.
Pria yang akrab dipanggil Iqin itu, menolak pemakaian kata ketersediaan air atau ketersediaan ruang hidup di IKN. "Yang terjadi di IKN itu, bukan lagi perkara membahas ketersediaan-ketersediaan yang mengganggu, sebab IKN itu adalah bentuk dari pembatasan itu sendiri," ujar Iqin, Senin, 5 Agustus 2024.
Sejak awal IKN dibangun, Iqin melihat program ini menambah deretan panjang konflik ruang serta pembatasan akses antara warga dengan sumber kehidupannya. Sumber kehidupan yang dimaksud Iqin ialah hutan, sungai dan ekosistem lingkungan yang berada di sekitar IKN.
"Sebenarnya apa yang ada di IKN termasuk pembangunan Intake Sungai Sepaku adalah penghambat akses itu sendiri. Sungai mereka dibendung, artinya sama dengan membatasi," ujar Iqin.
Intake Sungai Sepaku merupakan bendungan besar yang terletak di Desa Sukaraja, Penajam Paser Utara. Bendungan ini dibangun untuk memasok air baku bagi IKN. Untuk mengalirkan air di bendungan itu, dasar sungai ditinggikan lalu air dialirkan ke rumah pompa, dari rumah pompa berlanjut ke instalasi pengolahan air dan masuk ke jaringan pipa IKN.
Iqin menilai pembangunan IKN berdampak serius terhadap hak asasi manusia warga sekitar. Ini bukan lagi perkara ketersediaan air, namun ini adalah sebuah pembatasan bahkan menjauhkan masyarakat dengan hak-hak dasarnya sebagai manusia," ujarnya sembari menambahkan, "Kita enggak bisa lagi hitung orang terdampak, sebab ini adalah kerusakan berdampak jangka panjang."
Iqin mengatakan, IKN ini berada di daerah hulu lanskap ekosistem Teluk Balikpapan. Di lanskap tersebut ada ribuan orang yang mendiami ekosistem, serta juga ada keanekaragaman hayati yang harus dilindungi.
Dalam melihat dampak, kata Iqin, jangan dilihat kawasan darat an saja, melainkan juga ekosistem yang ada di pesisirnya. Ia menyebut Teluk Balikpapan sebagai contoh. Ribuan mangrove dan daerah aliran sungai di lanskap itu bisa terganggu dan akan membawa dampak kerusakan yang masif di kemudian hari sebagai imbas aktivitas pembangunan di IKN.
Menurut Iqin, tidak semua wilayah bisa menjadi kawasan pembangunan. Perlu ada pertimbangan dampak jangka panjangnya terhadap ekosistem di daerah itu. "Ada banyak satwa dilindungi dalam lanskap Teluk Balikpapan, misalnya bekantan, pesut, dugong, dan bermacam-macam flora hingga fauna unik lainnya, yang bisa sangat terganggu akan aktivitas pembangunan ini," kata dia.
Saat ini saja, kata Iqin, sudah mulai melihat dampak buruk yang dipicu dari kehadiran IKN, misalnya hilangnya akses warga setempat terhadap air, banjir setiap hujan datang hingga sungai-sungai tempat sumber kehidupan warga dibeton untuk dialirkan airnya ke IKN.
"Posisi IKN itu berada di atas. Apapun yang terjadi di atas, maka akan turun ke bawah, artinya berdampak ke bawah," kata Iqin. "Beberapa dampak buruknya telah terjadi, bertahun-tahun kemudian kami duga akan lebih besar lagi."
Pilihan Editor: Dukung Pelestarian Lingkungan, KLHK Siapkan Dana hingga 50 Ribu Dolar AS