TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo mengaku dibayang-bayangi bau kolonial selama mendiami tiga istana peninggalan pemerintah Hindia Belanda, yaitu Istana Negara, Istana Merdeka, dan Istana Bogor. Istana Negara dan Istana Merdeka berada di Jakarta Pusat, masing-masing menghadap ke arah Jalan Veteran dan ke arah Medan Merdeka.
“Yang ada di Bogor itu istana bekas kolonial yang dulunya dihuni. Istana Negara itu dihuni Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten,” kata Jokowi ketika memberikan arahan kepada ratusan kepala daerah di Istana Negara Ibu Kota Nusantara (IKN), Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, pada Selasa, 13 Agustus 2024.
Sejarah Istana Bogor
Melansir laman Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg), Istana Kepresidenan Bogor berawal dari tempat peristirahatan yang dicari oleh orang-orang Belanda ketika bekerja di Batavia—sekarang Jakarta. Mereka menilai Batavia terlalu panas dan ramai, kemudian mencari lokasi yang sejuk dilakukan di luar kota Batavia.
Selain orang-orang Belanda, Gubernur Jenderal Belanda G.W. Baron van Imhoff juga melakukan hal yang sama. Dia berhasil menemukan sebuah tempat yang strategis di Kampong Baroe pada 10 Agustus 1744.
Setahun kemudian, tepatnya pada 1745, Baron van Imhoff memerintahkan pembangunan sebuah pesanggrahan yang diberi nama Buitenzorg—berarti bebas dari masalah—di lokasi tersebut. Dia sendiri yang merancang sketsa bangunan tersebut. Proyek itu berorientasi pada Blenheim Palace, arsitektur kediaman Duke of Marlborough di dekat Oxford, Inggris.
Penamaan bangunan Buitenzorg juga mencakup wilayah perkampungan di sekitarnya, yang kini dikenal sebagai Bogor. Namun, pembangunan gedung tidak juga rampung hingga masa dinas Baron van Imhoff berakhir. Jabatannya digantikan oleh Gubernur Jenderal Jacob Mossel.
Diteruskan Beberapa Gubernur Jenderal Belanda
Istana Bogor tercatat pernah rusak berat pada masa pemberontakan perang Banten. Kyai Tapa dan Ratu Bagus Buang memimpin masyarakat Banten melawan belanda pada 1750-1754. Pasukan Banten menyerang Kampong Baroe dan membakarnya. Pemberontakan itu akhirnya berakhir tak lama kemudian.
Pergantian para gubernur jenderal dari Belanda diikuti berbagai perombakan di Istana Bogor terus terjadi. Gubernur Jenderal Willem Daendels, misalnya, memutuskan untuk memperluas pesanggrahan di Bogor dan membuat gedung induk menjadi dua tingkat.
Gubernur Jenderal Baron van der Capellen juga kembali memperluas bangunan tersebut. Dia juga menambahkan menara di tengah-tengah gedung induk dan membuka kebun raya di sekeliling Istana Bogor. Kebun itu diresmikan pada 18 Mei 1817.
Pada 10 Oktober 1834, gempa bumi mengguncang Istana Bogo dan mengakibatkan kerusakan berat. Berbagai upaya perbaikan terus berlanjut hingga akhirnya Gubernur Jenderal Albertus Jacobus Duymaer van Twist memutuskan untuk merobohkan bangunan yang terkena gempa dan mendirikan yang baru. Struktur yang baru hanya berupa bangunan satu lantai yang desainnya mengikuti arsitektur Eropa abad ke-9. Ada juga dua jembatan penghubung gedung induk dengan gedung sayap kanan dan sayap kiri.
Pembangunan Istana Bogor rampung pada 1861, dalam masa kepemimpinan Gubernur Jenderal Charles Ferdinand Pahud de Montager. Sembilan tahun kemudian, tepatnya pada 1870, Istana Buitenzorg ditetapkan sebagai rumah dinas resmi para gubernur jenderal Belanda. Penghuni terakhirnya adalah Gubernur Jenderal Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer yang terpaksa menyerahkan istana kepada pemerintah Jepang, melalui Jenderal Imamura. Tercatat sebanyak 44 gubernur jenderal Belanda pernah menempati Istana Kepresidenan Bogor.
Selanjutnya, Istana Bogor Dipercantik Pemerintah Indonesia