TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno mengatakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) akan disahkan dalam waktu dekat. "Kita sahkan pengesahannya pada masa sidang terakhir ini. Diupayakan dalam periode ini juga," kata Eddy saat dihubungi Tempo, Selasa, 13 Agustus 2024.
RUU EBET, sebelumnya dinamakan RUU EBT (Energi Baru dan Terbarukan), sempat terganjal pengesahannya untuk menjadi undang-undang. Namun masalah itu sudah ditemukan solusinya. "Hambatan sebelumnya dalam pembahasan mengenai energi baru. Makanya namanya diubah menjadi RUU EBET," ujar Eddy, sembari menyebut, "Saat ini rasanya tidak ada hambatan lain untuk disahkan di masa sidang terakhir nanti."
Salah satu klausul dalam RUU EBET adalah soal pemanfaatan energi baru. Salah satunya adalah Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir atau PLTN. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melakukan pengembangan nuklir di Indonesia sebagai sumber energi, namun kelanjutannya menunggu pengesahan RUU EBET.
Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko yakin Indonesia bisa dan perlu mengembangkan teknologi nuklir untuk kebutuhan energi. "karena ketahanan energi kita tidak mungkin tercapai tanpa adanya sumber dari PLTN," kata Handoko saat ditemui Tempo di Cibinong, Kamis, 8 Agustus 2024.
Keunggulan Nuklir
Sebelumnya peneliti BRIN Haryo Seno mengatakan hanya diperlukan pasokan 1,1 kilogram uranium ke pembangkit energi nuklir untuk memenuhi kebutuhan listrik satu orang dari lahir hingga berumur 73 tahun. Sebagai perbandingan, dibutuhkan setidaknya 88 ton batu bara atau 47 ribu kilogram gas bumi atau 65 ribu kilogram minyak untuk mendapatkan jumlah energi yang setara.
Energi nuklir, kata Haryo, lebih ramah lingkungan ketimbang industri batu bara dan sejenisnya. Walaupun nuklir masih menghasilkan emisi karbondioksida, jumlahnya cenderung lebih kecil ketimbang batubara dab minyak bumi. Bahkan, emisinya bisa dikurangi jumlahnya melalui jenis PLTN yang dipakai.
Pilihan Editor: Penjelasan Kenapa IKN Bisa Cuaca Hujan tapi Jakarta Kering