TEMPO.CO, Jakarta - Setelah menuai kritik karena rangkaian perjalanan keliling dunia menggunakan pesawat pribadi yang melepaskan banyak emisi karbon ke atmosfer, bintang pop dan rock Taylor Swift melalui juru bicaranya, dikutip BBC, menyebutkan akan menggunakan kredit karbon untuk mengkompensasi perjalanan jet pribadinya.
Swift diduga menghasilkan 138 ton emisi CO2 dalam tiga bulan saat bepergian. "Emisi karbon Swift sangat ekstrem dan mencemari atmosfer," kata Leah Thomas, penulis The Intersectional Environmentalist yang mempelajari hubungan antara lingkungan hidup dan hak istimewa, seperti dikutip dari BBC, Rabu, 21 Agustus 2024.
Kredit atau kompensasi karbon antara lain upaya mengikat karbon di atmosfer dengan upaya seperti penanaman pohon, karena pohon menyerap karbon dioksida. Kuota itu dibeli untuk mengimbangi emisi gas rumah kaca. Kompensasi atau kredit ini biasanya dibeli oleh perusahaan untuk mengimbangi jumlah total karbon yang dilepaskan ke atmosfer oleh bisnis mereka.
Dalam kasus Swift, juru bicaranya mengatakan kepada AP bahwa dia membeli kompensasi karbon dua kali lipat dari yang dibutuhkan untuk mengkompensasi perjalanannya untuk Eras Tour sebelum dimulai pada bulan Maret – kemungkinan cukup untuk menutupi jarak tempuh tambahan yang dia tempuh untuk melihat Kelce.
Jenis lain dari pengimbangan karbon adalah biaya yang dibayarkan individu untuk melawan jumlah karbon yang dipancarkan ke atmosfer, daripada mengurangi penggunaan karbon. Pengimbangan karbon menghitung perkiraan jumlah emisi karbon yang dilepaskan selama aktivitas yang membahayakan lingkungan, seperti penerbangan dan kemudian menghitung biaya yang akan mencegah dihasilkannya jumlah karbon yang sama.
Biasanya, pengimbangan karbon berinvestasi dalam proyek lingkungan yang mengurangi emisi karbon di tempat lain. Meskipun demikian, tidak ada perhitungan yang jelas yang dapat menentukan biaya pasti yang akan mengimbangi jumlah karbon yang tepat.
Pengimbangan adalah perkiraan kasar, dan sering kali melebih-lebihkan jumlah yang dapat dikompensasi oleh skema penyerapan karbon. Ditambah lagi, selalu ada ruang untuk kegagalan. Jika, misalnya, konservasi hutan digunakan sebagai penyerapan karbon, hutan itu kemudian dapat terbakar dalam kebakaran hutan dan pada akhirnya menghemat nol emisi.
Pada tahun 2023, di bursa karbon mencatat nilai perdagangan hingga US$ 480 miliar atau setara Rp 8.000 triliun. Untuk konteks Indonesia yang mempunyai hutan tropis ketiga terbesar di dunia dengan luas area 125,9 juta hektare mampu menyerap 25 miliar ton emisi karbon.
Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mendorong memanfaatkan potensi perdagangan karbon kredit untuk pemasukan negara melalui pajak dan PNBP.
Pilihan Editor: Info Terkini Gempa Dangkal M4,9 Guncang Kalimantan Utara, Terasa di Tanjung Selor dan Berau