TEMPO.CO, Jakarta - Bea Cukai Soekarno-Hatta, BKSDA Jakarta dan Balai Karantina Soekarno-Hatta menggagalkan upaya penyelundupan ekspor 3 ekor primata langka melalui barang bawaan penumpang tujuan Dubai, Uni Emirat Arab.
"Atas penindakan (ini), berhasil diamankan seorang pelaku Warga Negara Asing asal Mesir," kata Kepala KPU Bea dan Cukai Tipe C Soekarno-Hatta, Gatot Sugeng Wibowo dalam jumpa pers Jumat 30 Agustus 2024 di Kantor Bea Cukai Soekarno-Hatta.
Menurut Gatot, penindakan yang dilakukan pada 29 Agustus 2024 bermula dari adanya informasi soal dugaan adanya upaya penyelundupan satwa primata melalui Bandara Soekarno-Hatta,
Petugas kemudian melakukan pemantauan dan mencurigai ada sebuah koper milik penumpang berinisial GMA, 36 tahun, dalam bagasi pesawat Emirates (EK-357) rute penerbangan Jakarta (CGK) – Dubai (DXB).
Saat dilakukan pemeriksaan terhadap koper itu, yang juga disaksikan oleh pemilliknya, didapati seekor primata jenis Owa Siamang (Symphalangus syndactylus) dan dua ekor Owa Ungko (hylobates agilis).
Owa Siamang yang berwarna hitam itu usianya 3 bulan dan ditempatkan dalam kardus. Sedangkan dua bayi Owa Ungko berbulu coklat ditempatkan di sangkar bambu.Ketiga satwa langka itu ditemukan dalam koper berwarna krem.
"Tiga satwa langka ini disembunyikan dalam kardus dan sangkar bambu serta disamarkan dengan makanan dan pakaian (false Concealment)," kata Gatot. Penumpang dan tiga satwa itu lantas dibawa ke Kantor Bea Cukai Soekarno-Hatta untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Koper dan wadah yang digunakan dalam upaya penyelundupan 3 bayi primata langka oleh warga asing tujuan Dubai, Uni Emirat Arab, di Bandara Soekarno-Hatta, pada Kamis 29 Agustus 2024. FOTO: AYU CIPTA I TEMPO.
Kepala Bidang Penindakan dan Penyidikan Bea Cukai Soekarno-Hatta Zaky Firmansyah mengatakan, hewan primata tersebut kini terancam punah di habitatnya karena maraknya perburuan liar oleh manusia.
"Owa Siamang merupakan primata yang hidup di Indonesia wilayah Sumatera, memiliki ciri khas kantung di tenggorokkannya yang besar dan dapat mengembang serta mengeluarkan suara yang khas," kata Zaky.
Sedangkan Owa Ungko atau dikenal dengan nama Owa Janggut Putih merupakan primata yang tersebar di wilayah Sumatera dengan ciri khas bulu rambut putih pada alis, pipi, dan dagu sehingga menyerupai janggut.
Dari pengamatan Tempo, 3 satwa yang masih bayi itu terlihat lemas, Siamang hitam terlihat tertidur. "Dia hewan nocturno, kalau malam aktif," kata Stefanus, Kepala Seksi Konservasi Wilayah II Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jakarta.
Stefanus prihatin melihat 3 anak primata yang terpisah dari induknya itu. "Semalam anak-anak primata itu menangis. Petugas kami memberikan susu bayi 0 tahun, mereka diam," kata dia. Tiga primata itu dititiprawatkan ke BKSDA Jakarta.
Status Owa di Appendix I CITES
Gatot Sugeng Wibowo menjelaskan bahwa hewan tersebut termasuk ke dalam Appendix I CITES yang merupakan hewan yang dilarang untuk ditangkap dan diperjualbelikan dalam segala bentuk perdagangan Internasional dan Terdaftar dalam status Genting (Endangered/EN) oleh International Union for Conservation of Nature-UN (IUCN) Red List.
Gatot mengatakan, di Indonesia, Owa Siamang dan Owa Ungko ditetapkan sebagai hewan yang dilindungi sesuai dengan UU nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, junto lampiran PermenLHK P.106 tahun 2018 Tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Yang Dilindungi.
"Keterangan tersangka GMA mengaku mendapatkan primata langka tersebut melalui seorang penyedia satwa langka di Indonesia dengan tujuan diperdagangkan di Dubai, Uni Emir," kata Gatot. "Dipasarkan di Dubai, pasti harganya mahal mengingat satwa ini merupakan satwa langka dan dilindungi."
Menurut Gatot, GMA tercatat 3 kali masuk Indonesia dan menyebutnya bagian dari sindikat penjualan satwa langka. Ia telah lama aktif jual beli satwa langka dari berbagai negara, terutama negara-negara Asia, untuk kemudian dipasarkan di negara-negara Timur Tengah dan Afrika.
Gatot mengatakan, pelaku diduga melanggar tindak pidana kepabeanan pasal 102A Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan. Ancaman hukumannya maksimal 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp. 5 Miliar,
Pelaku juga diduga melanggar pasal 87 UU nomor 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan dengan ancaman hukuman penjara maksimal 3 tahun dan denda maksimal Rp. 3 Miliar.
"Saya mengajak masyarakat untuk turut menjaga kelestarian fauna dengan tidak menangkap maupun memperjualbelikan satwa yang dilindungi,” kata Gatot.
Pilihan Editor: BMKG Minta Nelayan Adopsi Teknologi, Tawarkan Sistem Ini untuk Hindari Risiko di Laut