TEMPO.CO, Ternate - Tim SAR Ternate berhasil menemukan korban yang sempat ikut hilang akibat banjir bandang di Kelurahan Rua, Kota Ternate, Maluku Utara. Banjir yang melanda persis sepekan lalu itu menyebabkan tiga warga lokal menghilang, namun dua di antaranya sudah ditemukan duluan. Korban hilang terakhir ditemukan tak jauh dari bibir pantai Kelurahan Rua pada pukul 18.12 WIT tadi, Ahad, 1 September 2024 pukul 18:12 WIT.
Salah satu warga Kelurahan Rua, Mohammad Bakri, mengatakan korban yang bernama Minanti itu ditemukan dalam keadaan tertimbun lumpur. “Sekarang korban sudah diserahkan ke pihak keluarga,” ujar Bakri kepada Tempo, tak lama setelah penemuan tersebut.
Menurut Bakri, upaya pencarian korban hilang sempat terhenti karena durasi kerja tim gabungan yang direncanakan hingga 31 lalu telah berakhir. Namun, atas permintaan keluarga, pencarian diperpanjang hingga 3 hari. “Minanti merupakan korban ke-19 yang ditemukan dalam peristiwa banjir bandang di Kelurahan Rua,” tuturnya.
Koordinator Posko Tanggap Bencana Banjir Rua, Rizal Marsaoly, mengatakan proses pencarian korban banjir bandang kini berakhir. Tim gabungan bakal berfokus ke tahap rehabilitasi dan rekonstruksi bencana.
“Ini penting sebagai upaya pemerintah membangun kembali semua infrastruktur dan sarana yang rusak,” kata Rizal.
Pemerintah Kota Ternate, kata dia, bahkan sudah mulai merencanakan relokasi korban terdampak banjir Bandang di Kelurahan Rua. Pasalnya, terdapat 250 warga lokal yang mengungsi akibat air bah tersebut. Sebelum Minanti ditemukan, banjir bandang itu tercatat menyebabkan 18 orang meninggal dan puluhan rumah rusak berat. Banjir memutus akses jalan menuju Kelurahan Rua.
Akibat Erosi di Gunung Gamalama
Banjir bandang di Kelurahan Rua itu dipicu tingginya tingkat erosi air permukaan pada material batuan dan tanah di kawasan puncak Gunung Gamalama. Ketua Tim Gerak Tanah Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Oktory Prambada, mengatakan sebagian besar Pulau Ternate merupakan kawasan yang memiliki tipe tanah aliran bahan rombakan.
“Infiltrasi air permukaan, dan curah hujan yang berlebih, pada material endapan aluvial ini yang kemudian memudahkan terjadinya pergerakan pada lereng yang relatif curam,” katanya melalui keterangan tertulis pada 27 Agustus lalu.
Merujuk peta geologi, ujar Oktory, kawasan gunung api itu masuk dalam endapan letusan litoral dan endapan aliran piroklastika. Endapan ini tersusun oleh breksi gunung api litik dan tuf—sebutan untuk material hasil letusan yang menjadi batuan—serta breksi berkomposisi andesit-dasit. Kawasan yang sama juga berisi fragmen lontaran erupsi gunung api berbentuk kerak roti.
Batuan dan tanah pada lereng tengah dan atas Gunung Gamalama merupakan bekas material lama yang mengendap. Material itu terendap oleh banjir bandang di masa lampau. “Bila dilihat dari bentukan morfologi lama kipas aluvial,” tutur Oktory.
Pilihan Editor: Dari Taylor Swift sampai Kaesang, Seberapa Buruk Jet Pribadi untuk Lingkungan?