TEMPO Interaktif, Jakarta -Banner sepanjang 2 meter dibentangkan oleh seorang pria yang berdiri di depan Jeepney, angkutan umum di Manila. "Dua puluh persen bahan bakar Jeepney ini menggunakan minyak jelantah." Ada lagi kalimat dengan huruf lebih kecil bertulisan "Baik untuk kesehatan, lingkungan, dan ekonomi kita". Tercantum pula nomor telepon seluler yang bisa dihubungi.
Film lain menceritakan mesin penghancur untuk membuat arang ramah lingkungan. Seorang pria mengayuh pedal sepeda sehingga mesin dapat beroperasi. Kisah lainnya tentang cara memanen air hujan oleh petani di pedesaan guna mengairi sawah mereka. Ada lagi upaya sebuah organisasi yang menyediakan database ikan di Filipina, sehingga nelayan dapat mengakses dan mengirim informasi lewat ponsel.
Potongan kisah tersebut tampil dalam acara Forum on iBoP Asia's Frontiers: Charting the Future of Science and Technology Innovations for Base of Pyramid (iBoP) in Southeast Asia, Rabu lalu, di Jakarta. Peserta dari Indonesia, Filipina, Kamboja, Vietnam, dan Thailand menampilkan presentasinya. Acara ini digelar oleh iBoP Asia sebagai program independen Sekolah Pemerintah Ateneo di bawah koordinasi Universitas Ateneo, Manila. Di Indonesia, Program Inovasi Sains dan Teknologi untuk Masyarakat Bawah Piramida ini bekerja sama dengan Dewan Riset Nasional.
"Program iBoP sejalan dengan agenda riset nasional," kata Ketua Dewan Riset Nasional Andrianto Handojo. Ada tiga panduan dari tujuh bidang fokus Agenda Riset Nasional 2010-2014, yakni pengentasan kemiskinan, wawasan lingkungan, dan wawasan kelautan.
Namun keterlibatan lembaga ini tidak secara langsung dalam program iBoP.
Menurut Andrianto, masyarakat miskin memiliki peluang memberdayakan dirinya sendiri. Tak hanya itu, penduduk lapisan terbawah dari piramida kependudukan ini juga mampu memutar roda perekonomian. Selama ini, kata Andri, mereka pasar yang terabaikan.
Saat ini ada 4 miliar penduduk bumi yang mengisi bawah atau dasar piramida (BoP). Dasar piramida merupakan sebutan bagi penduduk dunia yang hidup dengan kurang dari US$ 4 setiap harinya. Sekitar dua pertiga dari warga miskin dunia ini berada di Benua Asia. "Memaksimalkan penerapan sains dan teknologi serta inovasi merupakan agenda besar untuk meraih tujuan meningkatkan kehidupan masyarakat terbawah piramida," kata Antonio G.M. La Vina, Dekan Sekolah Pemerintah Ateneo.
Program ini memfasilitasi kerja sama berbagai organisasi dan sektor di negara-negara Asia Tenggara untuk dapat membina inovasi sains serta teknologi, sehingga dapat dimanfaatkan langsung oleh warga miskin. Program ini menyediakan dana sebesar 15-25 ribu dolar Kanada untuk melakukan studi tentang nilai dan dampak inovasi sains serta teknologi bagi warga lapisan bawah. Dari Indonesia, Yayasan Sejahtera Semesta Rakyat (Setara) tahun lalu memenangkan hibah ini. Mereka melakukan studi bertajuk "Analisis Rantai Produksi Bioetanol dari Aren dan Nipah".
Dua warga Indonesia, Tusy Adibroto dan Damayanti Buchori, menjadi anggota Komite Penasihat Program iBoP Asia. Awalnya, Damayanti skeptis dengan program yang menggunakan skenario Bank Dunia yang memanfaatkan warga miskin. "Saya khawatir mereka jadi tergantung dengan teknologi tersebut," kata dosen Institut Pertanian Bogor ini. Namun, setelah dia melihat hasil studi para penerima bantuan, kekhawatiran itu sirna. Program ini, ujarnya, menjadi gagasan menakjubkan untuk membantu rakyat miskin.
Aji Hermawan dari IPB menjelaskan sejumlah kendala penerapan hasil inovasi sains dan teknologi. Pertama, tidak nyambungnya riset dan dunia bisnis. Kedua, para pengusaha menginginkan produk yang cepat diterapkan dan menghasilkan laba. "Pengusaha ingin produk yang sudah jadi atau tinggal pencet saja," kata Aji. Ketiga, minimnya dukungan dari kalangan perbankan. Yang terakhir adalah perbedaan karakter antara inovator dan pengusaha. Menurut Aji, program iBoP juga harus melakukan pendampingan bagi penerima grant, sehingga produknya dapat dipasarkan. Bagi warga miskin, teknologi itu bernilai ekonomis.
Sejatinya, masyarakat miskin sebagai potensi ekonomi sudah berjalan pada bisnis bank pasar atau bank perkreditan rakyat di Indonesia. Peraih Nobel, Mohammad Yunus, dengan Grameen Bank, Banglades, menunjukkan bahwa para ibu rumah tangga miskin yang tidak layak kredit ternyata bisa menjadi nasabah Grameen Bank yang menguntungkan dengan tingkat risiko kredit lebih rendah dibanding nasabah bank komersial pada umumnya.
Allan Hammond, yang menjadi pembicara utama Forum iBoP di Jakarta, mengajak kita mengubah pola pikir terhadap orang miskin. Selama ini warga miskin dianggap sebagai beban dan perlu dibantu oleh si kaya atau dinas sosial. "Sektor swasta relatif lebih efektif mengentaskan kemiskinan dibandingkan dengan program sosial pemerintah," kata Senior Entrepreneur/Director Healthcare for All Ashoka itu.
Sayangnya, di negara berkembang prakarsa kewirausahaan sektor swasta atau social enterprises untuk membantu pengentasan kemiskinan tidak ditunjang kebijakan pemerintah. Karena itu, sektor swasta, kata Hammond, membatasi diri pada "business as usual" atau bisnis normal yang monoton. Padahal, katanya, peluang pasar konsumen BoP di seluruh dunia sangat besar. Untuk sektor energi, misalnya, peluangnya sebesar US$ 433 miliar, air (US$ 70 miliar), perumahan (US$ 332 miliar), dan kesehatan (US$ 156 miliar).
UNTUNG WIDYANTO