TEMPO.CO, Surabaya -- Tim arkeolog Universitas Airlangga dan Universitas Gadjah Mada menarik benang merah bahwa manusia purba Song Gentong hidup dari berburu dan bercocok tanam. Hal itu dibuktikan dari temuan fragmen alat berburu binatang yang terbuat dari batu dan tulang vertebrata.
Gajah termasuk binantang yang mereka buru untuk dimakan dagingnya. Selain berburu di hutan, manusia purba Song Gentong juga mengonsumsi kerang-kerangan yang didapat dari sungai purba dan pesisir pantai. Sebab, tim menemukan fosil cangkang mollusca air tawar dan air laut.
Baca Juga:
Adapun untuk tumbuh-tumbuhan, mereka biasa memakan kemiri dan kacang-kacangan yang merupakan sumber protein nabati. "Tanpa karbohidrat, mereka bisa hidup," ujar Toetik, penanggung jawab eskavasi situs yang juga dosen Antropologi Unair, Rabu kemarin, 11 Desember 2013.
Namun tim eskavasi tidak menemukan fosil tengkorak di Song Gentong, sehingga belum bisa merekonstruksi wujud manusia purba di kawasan itu. Toetik dan kawan-kawan hanya mendapatkan fosil gigi yang ukurannya lebih besar dan panjang dibanding gigi manusia zaman sekarang. "Dari kajian kami, manusia di Song Gentong hidup secara berkelompok," kata dia.
Bagi Toetik, temuan fosil kuno di selatan Pulau Jawa itu tak mengherankan. Sebab sebelumnya juga pernah ditemukan fosil-fosil serupa di Gunung Kidul, Yogyakarta serta di Ponorogo dan Pacitan, Jawa Timur. Artinya, kemungkinan besar peradaban manusia dimulai dari pegunungan Karst atau tak jauh dari pantai Laut Selatan. "Kami menduga, peradaban Song Gentong sendiri berpusat di Pantai Sine, Kecamatan Kalidawir, Tulungagung," ujar Toetik.
Sayangnya, karena terletak di pusat pertambangan batu marmer, Situs Song Gentong sudah dalam kondisi acak-acakan. Sisa-sisa goa tempat tinggal manusia purba juga nyaris tak berbekas. Bahkan, kata Toetik, tim arkeolog harus berbagi waktu dengan penambang marmer saat akan melakukan eskavasi. "Saat kami mau memulai eskavasi, penambang pas akan menghancurkan batu. Kami disuruh minggir karena bahaya," kata Toetik.
Departemen Antropologi Unair memamerkan ratusan fosil, fragmen dan artefak hasil eskavasi di Situs Song Gentong, Desa Besole, Besuki, Tulungagung. Pameran yang digelar di Laboratorium Kajian Etnografi Fisip Unair itu akan berlangsung hingga Sabtu, 14 Desember 2013. Eskavasi benda-benda prasejarah tersebut dilakukan pada 2010 - 2013 dengan melibatkan mahasiswa Jurusan Arkeologi Universitas Gadjah Mada.
Dari hasil kajian Laboratorium Arkeologi Forensik Unair serta Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi Fakultas Kedokteran UGM diduga bahwa peradaban di Song Gentong ada pada 6.000 - 8.000 tahun yang lalu.
Mereka tergolong Homo Sapiens yang sudah hidup semi sedenter di dalam goa. "Dilihat dari usianya, mereka sepantaran dengan Homo Wajakensis yang letaknya tak jauh dari Song Gentong. Artinya, ketika itu Homo Wajakensis tidak sendiri," kata Toetik.
KUKUH S.WIBOWO