5 Pertanyaan Besar dari Pengobatan Covid-19 Presiden Trump
Reporter
Terjemahan
Editor
Zacharias Wuragil
Sabtu, 10 Oktober 2020 13:23 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Dokter kepresidenan Amerika Serikat, Komodor Sean Conley, mengatakan kalau Presiden Donald Trump sudah akan bisa kembali ke tengah publik pada akhir pekan ini waktu setempat. Seperti diketahui Trump mendesak itu demi kampanye pemilihan presiden.
Hingga kini publik AS tak jelas apakah Trump sudah benar-benar sembuh dan nantinya tidak akan menularkan Covid-19 kepada yang lain. Dalam wawancara dengan Fox News pada Kamis malam, 8 Oktober 2020, Trump bahkan tidak mengatakan sudah teruji negatif Covid-19 sehingga pantas untuk kembali ke hadapan publik.
Dalam wawancara itu, dia sempat harus menghentikan sesaat kalimat-kalimatnya, terdengar berusaha membersihkan tenggorokannya dan batuk setidaknya dua kali. Sedang dalam wawancara radio pada Jumat, Trump mengklaim kalau pengobatan antibodi monoklonal--antibodi buatan menyerupai antibodi awal yang dimiliki tubuh--yang diterimanya adalah obat yang manjur.
Tapi benarkah begitu? Berikut ini lima pertanyaan yang muncul dari kondisi Trump dan pengobatan yang dijalaninya,
1. Soal kondisi Trump sebenarnya
Meski status gejala sang presiden telah disebutkan ringan dan sedang, kepadanya telah diberikan beberapa pengobatan yang justru membuat dugaan kalau gejalanya lebih parah daripada yang disampaikan. Kemungkinan lainnya adalah tim dokter Gedung Putih menggunakan pendekatan lain, yaitu mencoba setiap pengobatan yang dianggap bisa memberi kesembuhan kepada presidennya.
Baca juga:
Tabrak Protokol Kesehatan Covid-19, Kampanye Pilpres Trump Didenda
Yang disampaikan telah diberikan kepada Trump adalah: campuran antibodi eksperimental dari Regeneron Pharmaceuticals, obat antivirus remdesivir, obat golongan steroid dexamethasone, aneka suplemen termasuk zinc dan vitamin D dan oksigen suplemental.
<!--more-->
2. Pengobatan menabrak panduan yang ada
Pedoman pengobatan Covid-19 yang dibuat National Institutes of Health (NIH) AS mengatakan baik remdesivir maupun dexamethasone hanya untuk pasien yang dirawat di rumah sakit yang sudah bergantung kepada suplai oksigen. Itu artinya untuk gejala yang sudah menengah dan parah.
Seperti dikatakan Megan Ranney, seorang dokter di IGD di Rhode Island, “Dexamethasone dicadangkan untuk para pasien yang lebih parah." Bukan tanpa alasan. Dia menerangkan soal cara kerja obat ini yang melumpuhkan sistem imun tubuh agar terhindar dari efek yang dikenal sebagai badai sitokin di paru-paru. "Karenanya obat ini sebenarnya bisa malah berbahaya pada pasien dengan gejala ringan."
Dokter kepresidenan memang mengatakan Trump diberikan oksigen suplemental, namun tidak dijelaskan lebih jauh kapan dan berapa banyak yang dibutuhkan atau angka respiratory rate--indikator penting untuk menentukan keparahan gejala. "Yang sedikit membingungkan adalah fakta bahwa dia mendapat seluruh tiga pengobatan itu dalam jangka yang pendek," kata Céline Gounder, dokter spesialis penyakit infeksi di New York City, “itu tidak sesuai dengan yang biasa kami lakukan."
3. Bukti efikasi obat yang dipilih
Remdesivir mungkin yang paling jelas di antara tiga pengobatan itu. Penelitiannya untuk Covid-19 dimulai Februari lalu, dan sejak itu bukti bertambah kalau obat yang semula dikembangkan untuk antivirus Ebola ini mampu membuat pasien Covid-19 di rumah sakit sembuh lebih cepat empat hari daripada pengobatan antivirus biasa. Saat ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) telah mengizinkan Emergency Use Authorization untuk obat ini.
Dexamethasone, obat yang biasa digunakan untuk peradangan, juga telah direkomendasikan untuk pengobatan Covid-19. Sebagian peneliti percaya obat warung ini bisa menekan reaksi berlebih sistem imun tubuh pasien Covid-19. Berdasarkan studi yang dilakukan di Inggris dan dipublikaskan Juli lalu, dexamethasone juga bisa mencegah kematian pasien yang dirawat di rumah sakit.
Meski menjanjikan, hasil uji dexamethasone didapat dari studi 'open-label' di mana pasien dan dokter tahu kalau mereka menerima atau memberikan obat itu. Standar tertinggi untuk uji efikasi obat adalah studi double blind. Artinya, pasien dan dokter tidak ada yang tahu obat atau plasebo diberikan kepada siapa.
Baca juga:
Parah, Trump Akui Sengaja Tak Jujur soal Ancaman Covid-19
Pengobatan sisanya untuk Presiden Donald Trump memiliki sedikit data pendukung. Misalnya, baru pekan lalu Regeneron mengumumkan hasil awal dari uji klinisnya untuk obat berupa campuran antibodi itu. Datanya memang menunjukkan hasil positif tapi itu baru dari 275 pasien pertama yang disertakan dalam uji. Karenanya pula belum ada publikasi jurnal.
<!--more-->
Bukti vitamin D dan zinc bisa digunakan untuk pasien Covid-19 bahkan lebih langka lagi. Ada beberapa uji klinis yang menelaah kegunaan Vitamin D tapi sejauh ini NIH menyatakan tidak cukup bukti untuk merekomendasikannya.
4. Efek samping teknik terapi dan kombinasi obatnya
Menurut Gilead Sciences, pabrikan remdesivir, mengkonsumsinya bareng dexamethasone pada waktu yang bersamaan sejatinya tidak akan mempengaruhi efek kerja remdesivir. Tapi belum ada uji klinis untuk keduanya digunakan bersamaan atau dalam kombinasi dengan campuran antibodi bikinan Regeneron.
"Tidak seorang pun di planet ini yang telah menerima pengobatan dari kombinasi ketiganya sekaligus," kata Gounder, “kami tak memiliki data tentang pengaruhnya."
Belum lagi potensi efek sampingnya. Regeneron melaporkan hanya sedikit reaksi tak sesuai dan sifatnya ringan, tapi ya itu, dari uji yang baru awal. Sedang remdesivir dan dexamethasone telah banyak dilaporkan memiliki efek samping kerusakan hati dan karenanya harus sering ambil dan cek darah untuk penerima remdesivir.
Sedang untuk dexamethasone biasanya termasuk kadar gula darah naik, tekanan darah dan psikologis. Untuk penggunaan obat ini dianjurkan dalam periode singkat saja.
Baca juga:
6 Cara Sembuhkan Covid-19 ala Trump Sebelum Dia Terinfeksi Sendiri
5. Apa kabar hydroxychloroquine
Selama berbulan-bulan Presiden Trump menyebut obat anti malaria hydroxychloroquine sebagai obat Covid-19. Bahkan dia menyatakan mengkonsumsinya sebagai tindakan pencegahan tertular virus. Dia melakukannya sekalipun banyak studi menunjukkan sebaliknya, tidak efektif. Kini, tim dokternya tak menyinggung sama sekali hydroxychloroquine.
CNN | FORBES