TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), M. Faqih, berharap kasus dokter Li Wenliang di Wuhan, Cina, bisa menjadi pembelajaran untuk dokter di Indonesia. Li adalah satu di antara dokter yang telah mengungkap lebih dulu dan memperingatkan adanya pneumonia misterius di antara para pasien. Li diinvestigasi kepolisian setempat untuk tuduhan menyebar rumor dan akhirnya meninggal setelah tertular virus corona dari pasiennya.
“Peristiwa itu pembelajaran bagi kita. Informasi yang diberikan oleh dokter itu seharusnya disampaikan secara baik sesuai jalurnya, kepada yang berwenang,” ujar Faqih setelah meluncurkan inisiatif proaktif antisipasi COVID-19, nama virus corona penyebab pneumonia akut yang kini mewabah itu, di Jakarta, Kamis 13 Februari 2020.
Menurut Faqih, masalah penyebaran penyakit, terlebih penyakit baru, harus diperlakukan secara hati-hati untuk kemudian meyakinkan pihak yang berwenang. Kalau di Indonesia, kata dia, ada Undang-undang Karantina Kesehatan yang mengaturnya.
“Karena itu penting sekali penyampaian berita jangan ke publik terlebih dahulu," katanya, "Harus disampaikan ke yang berwewenang, kemudian diinvestigasi dan memastikan. Kalau iya, nanti yang berwenang yang menyampaikan ke masyarakat.”
Head of Medical Management Good Doctor Technology Indonesia, Adhiatma Gunawan, menyayangkan apa yang terjadi dengan Li Wenliang. Dia mengakui banyak sekali ketidaktahuan di awal wabah virus corona merebak dari Wuhan, Cina, sehingga apa yang pertama kali disampaikan Li tidak banyak yang mempercayainya.
"Harus kita pahami bahwa kasus ini memang baru, jadi ketika pertama kali ditemukan itu aneh, dan berbeda dengan jenis virus corona lainnya," kata dia.
Adhiatma, dokter lulusan Universitas Airlangga, mengapresiasi Li yang disebutnya berperan membuat informasi bahaya virus corona misterius bisa lebih cepat. Dia lalu menyarankan agar setiap dokter memiliki jiwa edukator untuk mendidik masyarakat dan peneliti yang selalu kritis, “Tidak hanya menjadi klinisi atau menangani kasus klinik.”
Adhiatma menambahkan, masyarakat juga harus bisa mengakses dan membedakan informasi yang benar dan keliru. Diakuinya, terlalu banyak disinformasi atau hoax akan mempersulit masyarakat membedakan informasi yang benar dari yang salah. "Jjadi ini jadi tunggung jawab kita semualah bukan hanya dokter,” katanya.