TEMPO.CO, Jakarta - Angkatan Udara Amerika Serikat (AS) telah merilis hasil investigasinya terhadap penyebab kecelakaan pesawat tempur F-35A Joint Strike Fighter di Pangkalan Udara Eglin, Florida, Mei lalu. Laporan yang diumumkan akhir September itu menemukan beberapa penyebab pesawat senilai Rp 2,5 triliun itu menghantam landasan, berguling-guling dan terbakar habis, di antaranya adalah faktor helm si pilot.
Helm pilot F-35 dikenal helm 'magis' karena memiliki layar build-in yang memproyeksikan informasi penting di sepanjang medan pandang pilot. Teknologi ini untuk menyesuaikan jet F-35 yang tidak menggunakan sistem tampilan informasi serupa di layar kokpit. Untuk teknologinya tersebut, helm ini ditaksir senilai Rp 5,8 miliar.
Baca juga:
Rusia Uji Rudal Hipersonik Tsirkon, Kecepatannya 8 Mach
Pada kecelakaan Mei lalu, helm disebut tidak pas di kepala pilot, menuntun pilot meyakini kalau dia mendapat informasi yang tidak akurat di saat yang kritikal dan membingungkan. "Pilot terpaku pada simbol yang salah dari tampilan helm pada fase kritis dengan mengesampingkan pemeriksaan silang," tulis Angkatan Udara AS pada laporannya, dikutip dari The Drive.
Tampilan informasi pada helm juga didapati memiliki tingkat kecerahan yang berlebih. Cahaya hijau yang tampil di layar helm disebut telah mengganggu pandangan pilot ketika menangkap isyarat di landasan. Hal itu diperparah dengan layar yang lembap sehingga pilot semakin sulit mendapatkan fokus.
Pesawat generasi kelima buatan Lockheed Martin, F-35A Lightning II terbang demo di atas ajang Paris Air Show di Bandara Le Bourget Airport, Paris, 20 June 2017. AP Photo/Michel Euler
Proyeksi data di layar helm F-35 diketahui juga pernah menjadi masalah pada pesawat Joint Strike Fighter sebelumnya, sama seperti saat ini. Pentagon lalu menghadirkan perbaikan pada 2019 dengan mengganti teknologi LCD pada helm tersebut dengan teknologi OLED yang dinilai lebih baik pada cahaya yang redup.
Masalah helm tak sendirian menyebabkan kecelakaan tersebut. Angkatan Udara AS melaporkan faktor utama penyebab kecelakaan adalah keputusan sang pilot melakukan pendaratan di ketinggian yang terlalu rendah. Sudut terbangnya menuju landasan hanya sebesar 5,2 derajat, lebih tajam 10 derajat dari sudut yang direkomendasikan.