"Siswa minoritas tidak mendapatkan perhatian yang layak karena mereka terpaksa belajar di perpustakaan atau di selasar kelas. Seharusnya hal itu mendapatkan perhatian lebih,” katanya.
Dalam keterangan terpisah, Komnas Perempuan menyoroti kebijakan seragam dengan identitas agama tertentu di lingkungan pendidikan justru sering kali perpanjangan dari kebijakan daerah setempat mengenai aturan busana. Dicatatnya, ada 62 kebijakan daerah yang memuat aturan tersebut di 15 provinsi.
Bentuknya, peraturan daerah (19) dan peraturan dan kebijakan kepala daerah di tingkat provinsi dan kota/kabupaten (43).
Sepanjang 2009-2020 Komnas Perempuan juga mencatat bahwa pihak yang berbeda pandang mengenai aturan tersebut dapat merisikokan diri untuk mengalami diskriminasi. Risiko itu nyata di antaranya diabaikan dalam layanan publik, sanksi administratif hingga kehilangan pekerjaan, diejek, dikucilkan, maupun kekerasan dan persekusi.
"Akibatnya, pihak yang berbeda pendapat memilih berdiam diri, yang kemudian dimanfaatkan sebagai tanda 'persetujuan' atas keberadaan kebijakan diskriminatif itu," kata satu komisionernya, Imam Nahei, yang menambahkan risiko juga ditemukan di beberapa daerah meski tidak ada kebijakannya.
Komnas Perempuan, kata Imam, mengapresiasi pertimbangan mengenai hak konstitusional warga dan pentingnya merawat kebhinekaan bangsa, sebagai landasan pijak dari SKB Tiga Menteri.
Baca juga:
Sekolah Stella Maris: Baru Kali Ini Bisnis Pendidikan Masuk Krisis
"Sehingga warga dapat memilih secara bebas untuk menggunakan atau tidak menggunakan seragam sekolah dengan atribut keagamaan sesuai agama dan keyakinannya itu,” ujarnya.