TEMPO.CO, Jakarta - Keterbatasan perekonomian keluarga tak membuat Apia Dewi Agustin berhenti untuk mengejar pendidikan. Apia mencari berbagai peluang agar ia bisa mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Program beasiswa akhirnya jadi penyelamat Apia.
Anak petani di pedesaan Gunung Lawu, Magetan, Jawa Timur ini menamatkan studi Sarjana dengan pembiayaan melalui dua beasiswa, yaitu beasiswa Bidikmisi dan beasiswa Keluarga Alumni Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (KAFEGAMA). Apia pun mendapatkan gelar S1 Akuntasi FEB UGM pada tahun 2020 dengan predikat cum laude.
Usia meriah gelar sarjana, Apia bertekad melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Kini, gadis 23 tahun tersebut mendapatkan kesempatan untuk studi Magister di UGM tanpa perlu mengeluarkan biaya. Bahkan, ia berkesempatan untuk langsung melanjutkan studi hingga jenjang Doktoral.
“Alhamdullilah. Saya bisa meneruskan pendidikan master, lanjut doktor melalui beasiswa PMDSU (Pendidikan Magister menuju Doktor untuk Sarjana Unggul) Kemendikbudristek,” kata Apia dilansir dari laman resmi UGM, Kamis, 7 September 2023.
Menurut Apia, PMDSU bertujuan menghasilkan doktor yang bermutu, mempercepat penambahan dosen bergelar doktor serta mempercepat peningkatan publikasi internasional.
Langkah Apia untuk mendapatkan beasiswa tidak mudah. Beasiswa hanya dibuka 2 tahun sekali. Adapun persyaratan lulusan pendaftar maksimal satu tahun terakhir untuk program sarjana dan usia tidak lebih dari 24 tahun. Sayangnya, tidak semua universitas di Indonesia dapat menjadi mitra program ini.
Berkat program PMDSU, Apia menjadi satu dari 300 sarjana unggul yang akan berproses menjadi doktor muda dengan pendidikan pascasarjana secara akselerasi pada jenjang S2 dan S3. Program akan dilaksanakan maksimal 4 tahun, dimulai 2023 ini.
Apia pun telah terdaftar sebagai mahasiswa semester 1 pascasarjana Akuntansi di Magister Sains dan Doktor Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM.
Keterbatasan ekonomi bukan halangan
Keterbatasan ekonomi keluarga menjadi motivasi bagi Apia untuk tekun belajar. Keluarganya sangat sederhana. Ayahnya yang bekerja sebagai petani, wafat ketika Apia menjalani semester 5 jenjang S1.
Akibatnya, perekonomian keluarga makin terguncang. Sebagai jalan bertahan hidup, sang Ibu mencari rezeki dengan membuka toko kelontong kecil.
“Dari jualan ibu itu, ya, hasilnya hanya pas-pasan saja untuk hidup sehari-hari,” kata Apia.
Apia kian bertekad untuk giat belajar dan menjadi anak yang berprestasi. Prestasi Apia sudah tampak sejak bangku SD, selalu menjadi bintang kelas, hingga SMA. Predikat peringkat pertama hampir selalu ada padanya.
Apia memang sudah lekat dengan beasiswa sejak sekolah. Pembiayaan SPP SMA juga bersumber dari beasiswa penuh karena prestasinya. Begitu masuk ke jenjang perkuliahan, Apia mulai bekerja paruh waktu untuk menambah uang saku. Ia menjalani pekerjaan asisten dosen, kelas, penelitian hingga asisten laboratorium.
"Saya selalu ingat pesan Bapak Ibu. Meski orang tua tidak sekolah, anak-anak harus bisa sekolah, sebab dibekali harta akan ada habisnya, tetapi jika dibekali ilmu akan abadi,” kata Apia.
Apia pun berpesan bahwa setiap orang berhak untuk bermimpi dan meraihnya. “Doakan, semoga ilmu yang diperoleh berkah dan bisa selalu bermanfaat untuk sesama,” kata dia.
Pilihan Editor: Dosen Fisipol UGM Bentuk Serikat Pekerja, Ini Tujuannya