TEMPO.CO, Jakarta - Video pusaran api di area kebakaran Bukit Teletubbies, Gunung Bromo, menjadi perhatian netizen. Video yang menjadi viral di media sosial itu menyebut bahwa pusaran api tersebut terjadi pada hari Minggu, 10 September 2023. Api yang bergulung pada lahan yang tengah terbakar bagaikan puting beliung.
Didi Satiadi, peneliti pada Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkap kondisi cuaca pada 10 September 2023 pukul 13.00 WIB di wilayah sekitar Gunung Bromo (Pasuruan) dari situs ventusky.com.
"Pada saat kejadian, wilayah sekitar Gunung Bromo memiliki tekanan udara permukaan yang relatif tinggi, yaitu 1.013 hPa," ujar Didi, Senin, 11 September 2023. "Dan terjadi sedikit penurunan pada siang hari."
Udara di dekat permukaan juga relatif kering dengan kelembaban sekitar 40 persen. Atmosfer cenderung stabil dengan energi potensial konveksi yang tidak berarti (0 J/kg). Pada saat kejadian, terlihat adanya pertumbuhan awan, namun tidak tejadi hujan. Angin permukaan umumnya bertiup ke arah utara dengan kecepatan sekitar 11 km/jam.
"Kondisi tersebut sepertinya tidak terlalu mendukung terjadinya proses konveksi kuat yang dapat menimbulkan puting beliung, yang memang biasanya lebih sering terjadi pada musim pancaroba," jelasnya.
Menurutnya, fenomena pusaran api yang dilaporkan warga kemungkinan merupakan fenomena “fire tornado” yang disingkat firenado atau tornado api skala kecil, yaitu pusaran api yang berbentuk mirip dengan tornado atau puting beliung. Fenomena tornado api biasanya memiliki ketinggian dan kecepatan angin yang lebih rendah dibandingkan dengan puting beliung.
Fenomena tornado api terjadi karena api kebakaran menyebabkan udara di sekitarnya menjadi sangat panas. Udara yang sangat panas ini menjadi lebih ringan dan menimbulkan updraft yang sangat kuat dan dapat membawa material panas ke atas.
Adanya angin yang cukup kuat di sekitar lokasi dapat menyebabkan rotasi atau pusaran yang kemudian tumbuh menjadi tornado api. Tornado api dapat menguat karena terjadinya umpan balik positif antara intensitas panas dan suplai oksigen.
Dalam hal ini peningkatan panas dapat meningkatkan kecepatan angin dan suplai oksigen ke dalam api. Peningkatan suplai oksigen dapat meningkatkan intensitas kebakaran dan seterusnya sehingga api cenderung semakin membesar.
"Tornado api sebetulnya jarang terjadi, dan biasanya terjadi pada kondisi yang cukup ekstrem, seperti kebakaran yang cukup parah," jelasnya. "Apalagi jika terjadi pada musim kemarau yang sangat kering seperti saat ini."
Fenomena tornado api tergolong berbahaya karena cenderung membuat api menjadi lebih besar dan dapat memicu kebakaran yang lebih luas sehingga merupakan tantangan dalam upaya pengendalian atau pemadaman kebakaran.
Di saat musim kemarau yang lebih kering seperti saat ini, risiko bahaya kebakaran menjadi meningkat. Didi mengajak semua pihak untuk lebih berhati-hati agar tidak memicu kebakaran akibat perilaku yang kurang bertanggung jawab, seperti membuang puntung rokok sembarangan, membuat api unggun yang tidak diawasi, membakar kembang api atau flare, membakar lahan/sampah, membuang sampah seperti botol/gelas yang dapat berfungsi sebagai lensa yang memfokuskan sinar matahari, termasuk kemungkinan percikan api dari instalasi/peralatan listrik yang tidak standar.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.