TEMPO.CO, Jakarta - Puluhan masyarakat sipil meminta penyiapan dokumen kedua Nationally Determined Contribution (NDC) dijadikan sebagai momentum koreksi komitmen iklim pemerintah. Dalam peluncuran dokumen ‘Rekomendasi untuk Second NDC Berkeadilan’, sebanyak 64 lembaga sipil meminta kontribusi nasional ihwal iklim disusun melalui proses yang lebih demokratis dan partisipatif.
Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, Torry Kuswardono, yang mewakili puluhan lembaga sipil, mengatakan pemerintah harus mengakui hak dan memenuhi kebutuhan spesifik dari subyek masyarakat yang rentan terdampak perubahan iklim. “Seperti petani kecil, nelayan tradisional, masyarakat adat dan lainnya,” ujarnya dalam peluncuran dokumen rekomendasi tersebut di Jakarta, Kamis, 29 Agustus 2024.
Dokumen NDC atau Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional berisi komitmen nasional ihwal antisipasi perubahan iklim global. Komitmen itu muncul dari Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim (Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change).
Pemerintah berencana merampungkan dan menyerahkan dokumen tersebut kepada Sekretariat UNFCCC sebelum akhir 2024. Rencana itu jauh mendahului tenggat waktu Maret 2025. Dokumen NDC Indonesia yang pertama berisi lima sektor yang ditargetkan berkontribusi dalam penurunan emisi gas rumah kaca, yaitu kehutanan, energi, pertanian, industri, serta limbah.
Dikejar hingga 2030, target pengurangan emisi nasional sebesar 31,89 persen dengan kemampuan sendiri, dan 43,20 persen lewat dukungan internasional. “Dokumen (rekomendasi) ini sudah diserahkan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai masukan dari masyarakat sipil,” ucap Torry.
Lonjakan Bencana Iklim
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bencana iklim melonjak 81 persen, dari 1.945 insiden pada 2010 menjadi 3.544 di pada 2022. Bahala alam itu berdampak terhadap 20 juta orang.
Dirilis pada 2023 lalu, laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mencatat 79 persen emisi gas rumah kaca global pada 2019 berasal dari sektor energi, industri, transportasi, dan bangunan. Ada juga 22 persen emisi yang datang dari pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan lainnya. Sektor-sektor ini berkontribusi melalui alih fungsi lahan dan eksploitasi sumber daya alam.
Pemerintah sudah meluncurkan kebijakan untuk menangani perubahan iklim, mulai dari komitmen emisi bersih atau Net Zero Emissions pada 2060, Pembangunan Rendah Karbon Berketahanan Iklim, Transisi Energi Nasional, Indonesia FOLU Net Sink 2030, serta konsep nilai ekonomi karbon.
Sayangnya, kata Torry, ambisi tersebut belum selaras dengan dengan target global untuk menurunkan emisi di angka 1,5 derajat Celcius. Dia menyebut rakyat Indonesia dalam bahaya., terutama kelompok rentan rentan, mulai dari petani kecil, nelayan tradisional, masyarakat adat, buruh dan pekerja informal, kaum perempuan, penyandang disabilitas, anak-anak, orang muda, lansia, dan korban kekerasan berbasis gender menanggung dampak paling berat akibat perubahan iklim.
“Kelompok rentan ini menanggung dampaknya, meskipun mereka bukan penyumbang emisi gas rumah kaca,” ucap dia.
Pilihan Editor: Mengikuti di Setiap Info Gempa, Begini Peringatan Dini Tsunami BMKG Dibuat