TEMPO.CO, Jakarta - Dengan Taliban kini menguasai Afghanistan, tumbuh kekhawatiran tentang bagaimana mereka akan menggunakan data dari program biometrik yang sangat besar yang telah ditinggalkan. Basisdata warga Afghanistan yang luas telah dibangun sejak rezim pemerintahan koalisi, tapi transisi yang sangat cepat telah membuatnya berpindah tangan begitu saja.
Pemerintah Amerika Serikat memulai program pengumpulan data sidik jari, pemindaian iris mata dan foto wajah dari warga Afghanistan yang tergabung dalam angkatan bersenjata negara itu. Sistem basisdata ini digunakan setelah proses uji selesai pada 2002.
Tujuan awal dari program pengumpulan data itu adalah menyaring dan mencegah gerilyawan Taliban serta anggota kriminal menyusupi pasukan kepolisian dan tentara bentukan Amerika itu. Untuk mengumpulkan dan menyimpan data-data tersebut, Departemen Pertahanan Amerika Serikat kemudian meluncurkan Sistem Identifikasi Biometrik Otomatis (ABIS) pada 2004.
Selama bertahun-tahun setelahnya, inisiatif biometrik itu telah mendorong pasukan koalisi maupun Afghanistan menjadi gugus tugas yang mengumpulkan data biometrik sidik jari, iris, dan genetik warga Afghanistan. Per sekarang, data biometrik sudah dikumpulkan dari jutaan orang Afghanistan.
Pada 2020, pemerintahan Afghanistan meluncurkan sistem yang sama untuk perizinan usaha dalam rangka memperbaiki kemudahan dan efisiensi birokrasi. Tarbaru, pada Januari lalu, Pemerintah Afghanistan mengumumkan rencananya untuk registrasi biometri seluruh siswa dan pengajar di 5.000 madrasah yang ada di negara itu.
Seorang pejabat senior di pemerintahan Afghanistan, yang terlibat pengumpulan data biometrik selama empat tahun belakangan, mengatakan sebagian perangkat sistem data biometrik itu sudah berada di tangan Taliban. Termasuk di dalamnya adalah portable toolkits terdiri dari laptop, kamera digital, pemindai sidik jari, dan alat baca iris mata.
“Coba pikirkan, mereka kini memiliki semua data dari kepolisian, kementerian pertahanan dan komisi pemilihan umum,” katanya yang meminta anonim.
Taliban juga disebutkan telah menyita peralatan dari sejumlah fasilitas yang biasa digunakan badan intelijen Afghanistan, Direktorat Keamanan Nasional. “Peralatan itu ditinggalkan saat semua buru-buru lari meninggalkan negeri ini,” katanya lagi.
Seorang pejabat militer Amerika Serikat mengkonfirmasi kalau milisi Taliban telah menyita perangkat ABIS, tapi tidak tahu berapa banyak. Sedangkan kelompok Human Rights First yang berbasis di Amerika Serikat menyatakan pada pekan ini bahwa Taliban mungkin telah mengakses beragam isi basisdata biometrik dan perangkatnya tersebut.
"Teknologi ini sepertinya mencakup pula akses ke basisdata dengan sidik jari dan pindai iris, dan termasuk teknologi pengenalan wajah,” bunyi pernyataan kelompok itu.
Kekhawatirannya adalah Taliban akan memanfaatkan perangkat dan data biometrik itu untuk balas dendam kepada mereka yang pernah bekerja untuk rezim yang disokong pasukan koalisi atau Amerika Serikat. Kekhawatiran yang sayangnya tidak berlebihan.
Seorang mantan penerjemah yang bekerja untuk pasukan Amerika Serikat di Pangkalan Udara Bagram, yang juga pernah memberikan data biometriknya, mengatakan Taliban sedang mendengarkan isi percakapan di ponsel dan menyisir dari pintu ke pintu untuk mereka yang pernah bekerja sama dengan Amerika di Kota Kandahar. “Kami benar-benar tidak tahu apa yang akan mereka lakukan kepada kami,” katanya.
Annie Jacobsen, penulis First Platoon: A Story of modern war in the age of identity dominance, mengatakan AS telah mengeluarkan lebih dari $8 miliar untuk program biometri di Afghanistan juga Irak. Dia yakin, meski banyak perangkat di Afghanistan kini dalam penguasaan Taliban, mereka belum tentu bisa mengolah atau memanfaatkan data di dalamnya.
Orang-orang mengantre untuk naik ke sebuah pesawat militer Jerman dan meninggalkan Kabul di bandara Kabul, Afghanistan, pada 24 Agustus 2021. Taliban menegaskan tidak akan memperpanjang batas evakuasi warga yang dilakukan oleh negara asing. (Xinhua)
Seorang perwira intelijen yang pernah bertugas di Afghanistan mengatakan keselamatan warga Afghanistan adalah yang terpenting. Menurut dia, data yang pernah dikumpulkan bisa digunakan untuk melakukan evakuasi karena data biometrik dikumpulkan secara luas untuk mengidentifikasi mereka yang pernah membantu AS.
“Amerika memiliki sejumlah besar data yang telah digunakan sejak lama untuk identifikasi siapa saja yang bekerja untuk mereka dan, seharusnya, bisa untuk menyiapkan evakuasi.”
Tak ada pernyataan konfirmasi ataupun tanggapan dari Departemen Pertahanan Amerika Serikat mengenai nasib dan rencananya dengan basis data biometrik yan jatuh ke tangan Taliban tersebut.
Baca juga:
Covid-19: Bagaimana Lockdown di Malaysia Memperparah Krisis Chip Dunia?