TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ihsan Naufal Muafiry melakukan penelitian untuk mengetahui perubahan atmosfer akibat gempa, khususnya analisa pada lapisan ionosfer.
Selain dipengaruhi oleh aktivitas cuaca di antariksa, menurut Ihsan, Ionosfer juga memiliki sensitivitas dengan pergerakan daratan Bumi seperti gempa. “Penelitian ini sebenarnya fokus mengkaji lapisan ionosfer pada ketinggian 100-500 kilometer dari permukaan Bumi,” ujarnya kepada Tempo lewat pesan singkat baru-baru ini.
Mengutip penelitian Cahyadi, peneliti dari Departemen Teknik Geomatika Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Indonesia, dan Kosuke Heki, ahli geofisika di Universitas Hokkaido, Jepang, keduanya menuliskan bahwa ketika terjadi gempa di dekat laut Aceh tahun 2012, maka pada data VTEC (Vertical Total Electron Content) ada fluktuasi atau kenaikan tiba-tiba beberapa menit setelah gempa terjadi.
Penelitian Kosuke Heki pada 2011 mengungkap beberapa hari setelah gempa besar di Jepang, ditemukan anomali di ionosfer 40 menit sebelum gempa. "Heki menemukan bahwa peningkatan ionosfer terlihat dari peningkatan nilai VTEC (Vertical Total Electron Content) 40 menit sebelum gempa,” ujar Ihsan.
Kemudian, pada tahun 2013 Heki kembali melakukan penelitian terhadap 18 kejadian gempa bumi. Dan, kembali ditemukan anomali beberapa menit sebelum terjadi gempa bumi. “Yang terbesar adalah pada kejadian gempa bumi di Andaman Sumatra tahun 2004," ujar Ihsan. Gempa ini terkenal dengan sebutan gempa Aceh.
Ihsan mengatakan bahwa hasil tomografi 3D yang secara teliti menggunakan kontrain yang realistis serta uji resolusi menunjukkan bahwa terdapat sepasang anomali positif dan negatif di ionosfer sebelum gempa bumi besar, mengindikasikan terjadinya perpindahan elektron bawah.
"Ionosfer mengalami peningkatan elektron dan juga penurunan elektron di beberapa ketinggian yang berbeda sebelum gempa bumi besar yang mengindikasikan terjadinya perpindahan elektron dari atas ke bawah," tegas pria lulusan S3 Hokkaido University tersebut.
Menurutnya, anomali setelah gempa besar di ionosfer terletak tepat di atas sumber tsunami. "Kami juga mendapatkan distribusi spasial dari anomali setelah gempa besar di ionosfer terletak di atas sumber tsunami. Ini mengindikasikan bersumber dari gelombang akustik," ujarnya.
Awan Gempa
Kerap ramai jika ada gempa besar, baik di dalam maupun di luar negeri, dikaitkan dengan kemunculan awan yang berbentuk tidak lazim dari biasanya. “Awan gempa dihubungkan secara langsung dengan penelitian ini tidak ada,” jelasnya. Hal ini mengingat ketinggian awan biasanya hanya beberapa ribu meter saja dari permukaan dibanding ionosfer yang mencapai ratusan kilometer.
Penelitian ini menduga bahwa anomali di ionosfer sebelum gempa terjadi akibat propagasi atau perambatan medan listrik dari permukaan berdasarkan pemodelan oleh Kelley dkk. tahun 2017. “Beliau salah satu pakar ionosfer dunia dan menduga propagasi tersebut mungkin terjadi,” jelasnya.
Di satu sisi, awan gempa ada yang menduga pula bahwa itu terjadi karena propagasi medan listrik dari permukaan. “Sehingga secara tidak langsung mungkin kedua anomali tersebut berhubungan karena sejauh ini diduga pemicunya sama, yaitu medan listrik yang menjalar ke atmosfer,” kata Ihsan.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.