Namun, pilihan itu tak lepas dari bidang ilmu yang ingin ia dalami. Fauzan menuturkan, pilihan kursus yang tersedia di University of Pecs lebih relevan dengan apa yang ia inginkan. Ia mengambil kursus international business communication, refractive communication, intercultural communication, dan global education.
"Jarang banget setiap universitas itu 4 pilihan course-nya sesuai dengan keinginan aku. Sedangkan yang di Pecs ini semuanya sesuai yang aku mau. Kalau di Leicester yang sesuai dan aku mau tuh ada dua. Masih belum sesuai dengan yang aku inginkan juga."
Setelah mantap untuk menuju Hongaria, Fauzan mulai mempersiapkan keberangkatan dan segala kebutuhan di negeri orang nantinya. Pertama, mulai dari pengurusan visa dan asuransi kesehatan. Ia telah riset soal asuransi kesehatan sejak jauh-jauh hari, seperti tempat mengurusnya. Ia juga mempelajari prosedur reimbursement ke IISMA. Ketika itu, kata Fauzan, ada 45 orang mahasiswa yang mengikuti program IISMA di Hongaria.
Fauzan mengatakan, perkuliahannya di University of Pecs cukup fleksibel. Musababnya, program IISMA memang ditujukan untuk eksplorasi berbagai macam hal di luar negeri. Dalam sepekan, Fauzan ada kelas selama empat hari. Selain itu, ada pula kelas tambahan belajar bahasa Hungaria.
Dari segi tugas, ia tak begitu merasa kesulitan menyesuaikan. Sebab, menurut dia, tugas kuliah di UI juga cukup banyak dan membuatnya terbiasa akan itu. "Tapi mungkin mereka lebih tegas. Misalnya gak ada toleransi untuk keterlambatan tugas," katanya.
Selama berproses di University of Pecs, Fauzan merasa bahwa setiap argumen atau pendapatnya diapresiasi oleh lingkungan. Selain itu, ia tak merasakan jarak yang terlalu besar antara mahasiswa dengan dosen. Terlebih lagi karena di Hongaria, mahasiswa memanggil dosen dengan nama langsung, tak seperti di Indonesia. "Kalau untuk kelas, kami diajarin banget untuk menggali lebih dalam tentang diri, refleksi diri," ujarnya.
Tak hanya itu, Fauzan juga merasakan bahwa dosennya di sana lebih peka terhadap mahasiswanya. Ketika Fauzan yang biasanya selalu duduk di bangku depan, lalu sekali memilih duduk di belakang, dosennya menyadari itu. Sang dosen menanyakan, apakah dia baik-baik saja. Ia meminta Fauzan untuk memberitahunya jika terjadi sesuatu yang kurang baik. "Dari hal-hal kecil itu, aku merasa diperhatikan. Salah satu dosen terbaik yang pernah aku temui."
Sempat Alami Culture Shock
Director of Partnership IISMA Alumni Club itu menyebut bahwa ia sempat mengalami gegar budaya ketika memulai hidup di Hongaria. Ia kaget dengan cara berkenalan di sana yang jauh berbeda dengan yang selama ini ia rasakan di Indonesia. Cara berkenalan di Indonesia menurutnya sangat santai, lain dengan Hongaria yang acuh tak acuh.
"Bahkan gak terlalu peduli, apalagi Asian. Aku belajar banget harus pede (percaya diri) sebagai orang Asia, sebagai orang Indonesia, harus nunjukin bahwa kita juga powerful, loh. Jadi, salah satu caranya lewat pendidikan atau lewat kegiatan-kegiatan yang kami adakan," tutur Fauzan.
Ia juga mempelajari bahwa komunikasi di Hongaria lebih blak-blakan. Hal ini berbeda dengan di Indonesia yang menurut Fauzan cenderung terbiasa berbasa-basi.
Sebagai seorang yang lahir dan besar di Indonesia, Fauzan ingin makan nasi ketika sampai di Hongaria. "Di UI biasa makan warteg. Sedangkan aku ke sana hanya dengan kemampuan bisa masak nasi goreng, telur dan mi. Itu yang perlu aku sesuaikan. Aku belajar masak, lihat YouTube, tanya sama mamaku."
Aktif Mengenalkan Budaya Indonesia
Selain berbau akademik, Fauzan juga aktif dalam mengenalkan budaya dan makanan Indonesia. Pertama, lewat momen Heros Challenge dalam rangka memperingati Hari Pahlawan 10 November. Ketika itu, kurang lebih 300 pelajar internasional datang menyaksikan. Fauzan dan mahasiswa asal Indonesia lainnya menyuguhkan sekitar 500 makanan tradisional nusantara.
Momen pengenalan budaya kedua bagi mahasiswa IISMA adalah Batik Challenge. Mereka mengenalkan bagaimana batik membuat batik ke anak-anak sekolah dasar. "Kami bikin sesederhana mungkin. Ada lomba-lomba juga seperti balap kelereng, memasukkan paku ke dalam botol, makan kerupuk, ada mentor untuk menunjukkan bagaimana cara bikin batik," ucap Fauzan.
Fauzan juga mengisi sela-sela waktu kosongnya untuk berkenalan dengan temen-temen dari negara lain. Ia dan teman-teman dari Indonesia lainnya kerap memenuhi undangan dari teman-teman negara lain atau dari Perhimpunan Pelajar Indonesia.
Fauzan merasakan kesenjangan yang cukup tinggi ketika masuk dan menjalani kehidupan sebagai mahasiswa baru di UI, terlebih melihat teman-temannya yang berasal dari perkotaan, sedangkan dia dari desa. Ia pun berpikir bagaimana cara menunjukkan eksistensinya. Akhirnya Fauzan menyadari perlu eksplorasi lebih luas untuk menunjukkan itu.
"Setiap usaha kita akan ternilai, walaupun gak lihat sekarang, tapi mungkin dua atau tiga tahun lagi kita akan lihat hasilnya," ucapnya.
Pilihan Editor: Fakultas Psikologi UIN Jakarta Terbaik se-Indonesia Versi SCImago