TEMPO.CO, Malang - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) baru saja menuntaskan penelitian keanekaragaman hayati di dalam kawasan Suaka Margasatwa Pulau Nusa Barung, 15-26 Mei 2024. Tim BRIN dibantu Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Timur.
Tim peneliti beranggotakan lima orang peneliti BRIN, dibantu tiga peneliti dari instansi di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta seorang peneliti dari lembaga swadaya masyarakat.
Sembilan peneliti itu adalah Tri Atmoko, Mukhlisi, dan Oki Hidayat (Pusat Riset Zoologi Terapan BRIN); Istiana Prihatini (Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya dan Kehutanan BRIN); Bina Swasta Sitepu (Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi BRIN); Warsidi (Balai Penerapan Standar Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan/BPSI-LHK Samboja, Kalimantan Timur); Toni Artaka (Pengendali Ekosisten Hutan yang juga peneliti anggrek Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru/TNBTS); Fajar Dwi Nur Aji (Pengendali Ekosistem Hutan Balai Besar KSDA Jawa Timur), dan Andi Iskandar Zulkarnain (Yayasan Pelestarian Keanekaragaman Hayati Indonesia/Pakarti).
Ditambah dengan tujuh tenaga harian dan seorang jurnalis, total jumlah anggota tim 17 orang. Tempo jadi satu-satunya wartawan yang ikut dalam penelitian di pulau seluas 7.635,9 hektare tersebut.
Suaka Margasatwa Pulau Nusa Barung—masyarakat setempat lebih karib dengan sebutan Pulau Nusa Barong—merupakan pulau terluar yang berada di perairan Samudra Indonesia (Samudra Hindia). Secara administratif, Pulau Nusa Barong berada di wilayah Desa Puger Kulon, Kecamatan Puger, Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur.
Menurut Tri Atmoko, ketua tim, kegiatan ekspedisi Pulau Nusa Barong didanai Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan. Penelitiannya berjudul “Pengembangan Teknik Identifikasi Jenis dan Kualitas Habitat Satwa di Pulau Nusa Barung melalui Integrasi Metode Konvensional dengan e-DNA, Soundscape, dan Citra Satelit” dan direncanakan berlangsung selama dua tahun.
Dua peneliti BRIN, Tri Atmoko dan Mukhlisi, mensterilkan wadah untuk menyaring sampel air yang diambil dari dalam hutan Suaka Margasatwa Pulau Nusa Barong pada Jumat, 17 Mei 2024. Nantinya, penyaringan ditujukan untuk mengambil larutan berisi asam deoksiribonukleat (DNA) yang dibutuhkan untuk penelitian flora dan fauna yang mereka lakukan. (TEMPO/Abdi Purmono)
Indonesia punya banyak pulau terluar yang perlu mendapatkan perhatian khusus karena pengelolaan dan perlindungan pulau-pulau terluar umumnya kurang memadai. Ukuran pulau terluar yang kecil dan terisolasi—terpisah sangat jauh dari pulau utama—memiliki tingkat kerentanan, kerusakan, dan bahkan kepunahan yang relatif tinggi.
Pulau Nusa Barong berjarak 15-20 kilometer dari daratan utama Pulau Jawa apabila dihitung dari Pantai Nyamplung Kobong di Desa Kepanjen, Kecamatan Gumukmas. Pantai Nyamplung Kobong jadi titik keberangkatan tim BRIN ke titik pendaratan pertama di sisi selatan, yaitu di pantai Teluk Kandangan. Tim ekspedisi Nusa Barong berkemah di Teluk Kandangan selama 15-19 Mei.
Dari Teluk Kandangan tim bergeser ke pantai Teluk Jeruk di sebelah utara. Teluk Jeruk terpaut jarak sekitar 7 kilometer dari Pantai Nyamplung Kobong. Tim ekspedisi berkemah di Teluk Jeruk hingga kegiatan hari terakhir penelitian, tapi mereka juga bergeser memakai perahu untuk meneliti di empat lokasi hutan berbeda.
Tim Ekspedisi Pulau Nusa Barong BRIN saat tiba di pantai Teluk Kandangan pada Rabu siang, 15 Mei 2024. (TEMPO/Abdi Purmono)
Pulau Nusa Barong termasuk pulau terluar yang hampir tidak pernah dieksplorasi secara intensif, termasuk pulau terluar yang sangat jarang diteliti sehingga data dan informasi rinci keanekaragaman hayati, terutama yang terkait satwa liar dan habitatnya, sangat minim.
Terlepas dari era kolonial, Tri dan kawan-kawan mencatat, inventarisasi flora dan fauna di Pulau Nusa Barong pernah dilakukan kelompok Mahasiswa Pecinta Alam Institut Pertanian Malang (Mapalipma) pada 1995, namun substansi riset tidak mendalam. Berikutnya, penelitian flora dilakukan Tukirin Partomiharjo dan Ismail dari Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi LIPI, pada 2005. Ada juga kegiatan inventarisasi dan verifikasi keanekaragaman hayati yang dilakukan Balai Besar KSDA Jawa Timur 18-23 Juli 2022.
“Sebagai pulau terluar, Nusa Barong juga mempunyai nilai strategis dalam perspektif menjaga teritori dan kedaulatan negara sehingga berbagai kegiatan perlu dilakukan untuk mengukuhkan eksistensi Nusa Barong, salah satunya kegiatan penelitian,” kata Tri, Peneliti Madya Pusat Riset Zoologi Terapan BRIN, Kamis, 16 Mei 2024.
Tri menjelaskan, penelitian itu bertujuan untuk menilai potensi keanekaragaman jenis satwa liar dan menilai kualitas habitatnya dengan menggabungkan metode konvensional dan metode terbaru untuk mendapatkan data yang sahih.
Metode konvensional untuk meneliti flora dan fauna secara langsung biasanya memerlukan waktu dan biaya yang besar, plus sumber daya manusia yang banyak. Metode ini pun sering terkendala cuaca buruk, medan berat, dan keterbatasan personel.
Karena itu, Tri menukas, diperlukan suatu metode pendekatan baru dengan memakai teknologi terkini supaya jenis dan biodiversitas dapat teridentifikasi secara lebih efektif dan efisien.
Tri dan kawan-kawan menerapkan metodologi konservasi terkini di Pulau Nusa Barong, yaitu environmental asam deoksiribonukleat (eDNA) metabarcoding, serta analisis spasial citra satelit dan bioakustik untuk menilai kualitas habitat satwa.
Metode eDNA metabarcoding merupakan metode terdepan untuk pengidentifikasian spesies, namun masih jarang sekali digunakan di Indonesia. Secara umum, eDNA metabarcoding merupakan teknik yang sensitif dan efisien untuk mengidentifikasi, mempelajari, mengumpulkan, dan mendata jenis serta keanekaragaman dan kualitas habitat satwa dengan pola sebaran spasial skala besar.
Teknik itu tidak hanya melihat fisik, tapi berfokus pada pengambilan materi DNA yang tertinggal di lingkungan, baik di dalam air maupun tanah dan bahkan di udara, sehingga eDNA metabarcoding bersifat non-invasif dan diyakini bisa menjangkau lebih luas dalam pencarian informasi keberagaman spesies satwa di Nusa Barong.
Penggunaan teknologi e-DNA metabarcoding dapat membantu pengidentifikasian spesies yang sulit dibedakan secara konvensional atau dapat membantu mengurangi kesalahan identifikasi spesies.
“Sekaligus dapat meningkatkan efektivitas pengambilan keputusan untuk merancang strategi konservasi,” ujar Tri, sarjana konservasi sumberdaya hutan dari Institut Pertanian Malang, yang mendapat gelar magister dan doktor di bidang primatologi dari Institut Pertanian Bogor.
Mukhlisi menambahkan, penilaian kualitas habitat satwa memakai metode soundscape yang dikombinasikan dengan analisis citra satelit untuk memperkuat data-data analisis vegetasi yang menjadi metode baku penilaian habitat secara konvensional.
Penggunaan metode maupun pendekatan soundscape—kumpulan suara yang berasal dari lanskap atau ekologi bentang suara—masih terbilang sangat baru di Indonesia dan nyaris tak pernah digunakan sebagai parameter untuk menilai indeks kualitas lingkungan di Indonesia. Secara sangat terbatas soundscape mulai dipakai di beberapa kawasan hutan tropis dunia seperti Afrika dan Kalimantan Timur.
Menurut Mukhlisi, penggunaan metode soundscape secara konseptual didasarkan pada sebab-akibat (kausalitas) dari suara biologis (bioakustik/biofoni), geofisika (geofoni), dan suara yang dihasilkan manusia (antrofoni). Sesuai judul penelitian, tim BRIN lebih berfokus pada analisis suara satwa.
Sarjana biologi dari Universitas Lampung ini menyatakan, cara paling efektif untuk menerapkan pendekatan bioakustik adalah memakai monitoring akustik pasif, yaitu dengan menempelkan alat perekam pada batang pohon seperti halnya memasang kamera perangkap/jebak (camera trap). Tim BRIN memasang 6 alat bioakustik di Teluk Kandangan, Teluk Jeruk, dan Teluk Kecambah.
“Alat ini sangat sensitif, bisa merekam semua suara alam, hewan atau suara lain. Bisa juga merekam suara aneh-aneh lainnya dari makhluk astral,” ujar Mukhlisi dengan agak bercanda.
Pemasangan alat bioakustik bisa efektif dipakai untuk memantau wilayah dan gerakan satwa—untuk mengukur populasi satwa, juga memantau pemburu hewan, pencuri telur penyu, dan pencuri kayu yang masih sering terjadi di Pulau Nusa Barong.
Dalam skala lebih luas, pemasangan alat bioakustik cocok dilakukan di kawasan-kawasan konservasi yang kekurangan sumber daya manusia untuk menjaga kawasan, seperti Suaka Margasatwa Pulau Nusa Barong yang cuma diurusi empat personel Resor Konservasi Wilayah (RKW) 15, sudah termasuk Ariyanti selaku kepala RKW 15 merangkap satu-satunya polisi hutan. Wilayah kerja RKW 15 pun mencakup Cagar Alam Watangan seluas 2 hektare. Selain tim Ariyanti, tim RKW 16 Jember yang dipimpin Bagus Suseno juga turut membantu penelitian BRIN.
Menurut Tri Atmoko, penggunaan metode terkini itu disandingkan dengan metode konvensional sebagai validasinya. Teknik konvensional yang digunakan antara lain survei secara langsung terhadap satwa (mamalia, burung, herpetofauna, dan kelelawar) dan analisis vegetasi untuk menilai kualitas habitat, termasuk menggunakan kamera pesawat nirawak atau kamera drone untuk melihat tutupan vegetasi kawasan.
Pemasangan kamera jebak—tim BRIN memasang lima kamera—sudah populer digunakan untuk monitoring satwa liar sehingga penggunaan kamera perangkap dalam riset itu digolongkan sebagai teknik konvensional, termasuk pengidentifikasian jenis burung memakai aplikasi BirdNET.
Penggunaan kedua metode itu diyakini dapat menghasilkan penilaian potensi flora dan fauna yang lebih inovatif. Setidaknya, hasil riset menghasilkan penemuan spesies baru atau catatan baru (new record) di pulau terluar di Indonesia, sekaligus membangun basis data flora dan fauna Suaka Margasatwa Pulau Nusa Barong yang lebih komplet dan komprehensif.
Andi Iskandar Zulkarnain menimpali, diharapkan seluruh hasil riset bisa dipresentasikan ke publik melalui sarasehan konservasi di Taman Wisata Alam Gunung Baung pada September mendatang.
Pilihan Editor: Perbedaan Zona di Jalur Zonasi PPDB 2024 DKI Jakarta